Tahun ini Jakarta Biennale merayakan ulang tahunnya yang ke-50 tahun. Setelah diselenggarakan di sejumlah ruang seni dan ruang publik, Jakarta Biennale 2024 kembali diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 1 Oktober-15 November 2024.
Jakarta Biennale merupakan ajang memperkaya ekosistem seni sekaligus mendorong dialog lintas disiplin dan budaya. Perhelatan ini pun menjadikan seni sebagai alat transformasi sosial.
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berperan sebagai fasilitator, pengarah, dan penyokong, memastikan setiap edisi Jakarta Biennale relevan dengan perkembangan zaman serta memiliki dampak signifikan bagi masyarakat luas.
“Penyelenggaraan tahun ini dijalankan oleh 20 kolektif dan entitas seni di Jakarta yang tergabung dalam Majelis Jakarta,” kata Ketua Harian DKJ Bambang Prihadi dalam keterangan tertulis, Jumat (25/10/2024).
Majelis Jakarta terdiri dari RajutKejut, Setali Indonesia, Cut and Rescue, PannaFoto Institute, Kelas Pagi Indonesia, Komunitas Paseban, TrotoART, Gudskul Ekosistem, Westwew, dan Jakarta Wasted Artists. Selanjutnya, ada Atelir Ceremai, Asosiasi Pematung Indonesia Jakarta, DKJ, Serrum ArtHandling, Sanggar Seroja, Galeri Saku Kolektif, Girls Pay the Bills, Sekolah Sablon Indonesia, Sanggar Anak Akar, dan Binatang Press!
Bambang mengatakan, metode dan penyelenggaraan Jakarta Biennale 2024 dibingkai dalam konsep “lumbung”. Ini bisa diinterpretasikan sebagai wadah, tempat semua sumber daya yang dimiliki oleh kolektif, kelompok, maupun individu untuk disimpan dan dikelola bersama.
“Melalui nilai dan cara kerja lumbung, penyelenggaraan Jakarta Biennale 2024 ingin mendorong pembagian sumber daya dan kuasa kepada sejumlah kolektif/kelompok dan anggota masyarakat di berbagai wilayah di Jakarta,” ujar Bambang.
Kolaborasi Jakarta Biennale 2024
Dalam Jakarta Biennale 2024, Majelis Jakarta berkolaborasi dengan sejumlah pihak, termasuk di antaranya para kurator dan seniman asal Taiwan. Mereka bekerja sama dalam satu bingkai kuratorial di bawah arahan kurator asal Taiwan, Sandy Hsuchiu Lo, dalam program bertajuk Topography of Mirror Cities.
Dalam bingkai kuratorial ini, mereka menarik hubungan antara enam kota di enam negara di Asia Tenggara untuk membayangkan bersama gagasan tentang kota yang layak huni dan menyenangkan. Enam kota tersebut antara lain adalah Kuala Lumpur (Malaysia), Taipei (Taiwan), Phnom Penh (Vietnam), Bangkok (Thailand), Jakarta (Indonesia) dan Dhaka (Bangladesh).
Topography of Mirror Cities menyajikan karya-karya kolaboratif dari setidaknya 60 perupa dan kolektif dari enam negara di Asia Tenggara. Program kuratorial ini memiliki beberapa sub program, masing-masing bertajuk “Herbal-Urbanism”, “Whose City”, dan “Mobile Topography”.
Ketiganya mengeksplorasi sejarah kompleks dan hubungan kontemporer antara Taiwan dan Jakarta, termasuk di dalamnya interaksi perkotaan dan pertukaran budaya. Sementara itu, satu subprogram lainnya, yaitu The Valley of Hope, mengeksplorasi hubungan serupa antara Jakarta dan Malaysia.
Dalam penyelenggaraan Jakarta Biennale tahun ini, Majelis Jakarta juga berkolaborasi dengan kolektif-kolektif seni di Palestina dalam bingkai kuratorial bertajuk Our People are Our Mountains. Program ini dijalankan dalam bentuk instruksi jarak jauh.
Praktik ini dipilih untuk menyiasati biaya lingkungan yang diakibatkan oleh moda transportasi antarnegara. Selain itu, cara ini sekaligus sebagai simbol atas segala bentuk keterbatasan yang dialami oleh bangsa Palestina saat ini.
Melalui Our People are Our Mountains, para perupa dan kolektif seni di Palestina melampaui situasi keterbatasan dengan mengirimkan gagasan mereka kepada Majelis Jakarta dalam bentuk instruksi. Itu kemudian dipresentasikan di Jakarta Biennale 2024.
Perupa dan kolektif seni di Palestina dalam Our People are Our Mountains adalah Noor Abed, Zeynep Kayan, Adel Al Taweel, Al-Wah’at Collective (Areej Ashhab, Gabriella Demczuk and Ailo Ribas), Dalia Taha, Essa Grayeb, Om Sulaiman Farm (Yara Dowani), Sakeb, Isshaq Albarbary, Mohamed Abdelkarim, Nadir Bouhmouch, Noor Abuarafeh, Reading Vigil for Palestine, Sky Hopinka, Suneil Sanzgiri, dan Marina Chirstodoulidou.
Menurut Bambang, Jakarta Biennale 2024 pun menjadi wadah inovasi artistik dan kolaboratif para perupa Indonesia di luar Jakarta. Mereka adalah perupa yang telah mengikuti program residensi Lab Indonesiana: Baku Konek.
Dalam program residensi yang dimulai sejak Agustus hingga September 2024 tersebut, 17 perupa individu dan kolektif seni dari sejumlah kota di Indonesia berkolaborasi dengan 11 kolektif yang tersebar di seluruh Indonesia. Program residensi di lingkup domestik ini sekaligus ingin mematahkan pemahaman umum di lingkungan seni dan kebudayaan. Residensi tidak harus selalu dilakukan di luar negeri.
Jakarta Biennale bermula dari Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (PBSLI), digagas oleh DKJ dan diselenggarakan di TIM pada 1974. Sebagai pemilik program Jakarta Biennale, DKJ memegang peran dalam keberlanjutan salah satu perhelatan seni kontemporer paling bergengsi di Indonesia ini.
***
Baca juga: