• Cerita
  • Mengenal Monika Maritjie Kailey, Perempuan Adat Penjaga Aru
Cerita

Mengenal Monika Maritjie Kailey, Perempuan Adat Penjaga Aru

Monika Maritjie Kailey dari Kepulauan Aru mengikuti Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity di Kolombia. Siapa dia?

Monika Maritjie
Monika Maritjie Kailey mengajar anak-anak di Kepulauan Aru. (Foto: Contentro PR)

Kepulauan Aru, Maluku, menyimpan keindahan alam yang kaya biodiversitas. Alam membentengi Aru dengan hutan mangrove luas. Saat ada yang coba menghancurkan kekayaan itu dan merampas hak masyarakat adat Aru, Monika Maritjie Kailey berada di barisan depan. Ia menentang dengan suara lantang.

Postur tubuh Monik, begitu sapaannya, boleh kecil. Tapi semangatnya menjaga biodiversitas Aru begitu besar. Semangat membela masyarakat adat yang hidup di dalamnya pun tak pernah surut. Saat ini Monik sedang berada di Cali, Kolombia, untuk mengikuti Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP 16 CBD).

COP adalah pertemuan tahunan global untuk membahas ancaman krisis iklim. Dalam pertemuan itu, Monik membawa pesan masyarakat Kepulauan Aru sebagai penjaga hutan, laut, dan kekayaan biodiversitas di dalamnya. Mereka berkontribusi langsung terhadap mitigasi krisis iklim.

Monika Maritjie bukan anak perempuan biasa

Monika Maritjie Kailey dari Kepulauan Aru berpose dengan kostum merahnya. (Foto: Contentro PR)

Saat kecil, Monik ikut ayahnya keluar-masuk hutan dan pergi ke laut. Ia ingat, saat berusia 7 tahun, ia diajak ayahnya masuk hutan, tidur di gua, beralaskan tempat tidur militer yang ditinggal oleh kakak dari kakeknya di gua. Di dalam gua-gua tersebut banyak sarang burung walet, yang dikumpulkan oleh ayahnya untuk kemudian dijual.

“Dalam perjalanan dari satu gua ke gua lain, Papa mengajari kami membaca jejak berbagai hewan buruan, seperti rusa dan babi hutan. Saya juga pernah diajak berburu, melihat pemburu menghalau binatang hutan agar mendekati pemanah,” kata Monik dalam siaran pers yang disebarkan Contentro PR, Kamis (24/10/2024).

Dari sana, Monik belajar dari alam. Ia belajar bertahan di rimba, membuat dan memasang perangkap untuk hewan liar, serta memilih kayu yang bisa menghasilkan api. Pengalaman panjang itu membuat Monik punya pandangan bahwa alam dan manusia tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkaitan dan saling membutuhkan.

“Masyarakat di kampung kami hidup bergantung pada laut dan hutan. Di hutan kami membuat perkebunan untuk menanam bahan pangan, seperti singkong, ubi jalar, dan keladi. Di hutan pula kami mendapatkan tanaman obat, jika tidak bisa menjangkau fasilitas medis. Di hutan ada rusa dan babi hutan, yang kami buru sesuai kebutuhan saja,” cerita Monik.

Dari sana ia mempelajari makna kearifan lokal yang dilakukan masyarakat Aru. Mengambil sesuai kebutuhan sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Masyarakat, kata dia, akan berburu hewan dalam skala besar hanya saat ada acara adat di kampung.

Kepulauan Aru terletak di dekat Papua. (Foto: ProPublika.id)

Monik bercerita, sekitar 65-70 persen masyarakat adat Aru hidup dari hasil laut. Sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Hasil laut di Aru sangat melimpah, mulai dari rumput laut, teripang (ketimun laut), bermacam jenis ikan, udang lobster, hingga kepiting bakau. Selain mengambil hasil laut untuk kelangsungan hidup, mereka juga mempertahankan pangan lokal.

“Salah satunya, adanya aturan adat bahwa sebelum menebang pohon untuk membangun rumah, masyarakat harus menanam bibit pohon terlebih dahulu. Jika pohon yang baru itu hidup, barulah mereka boleh menebang pohon,” kata Monik.

Tradisi semacam itu yang menurut Monik penting untuk diresapi dan diteruskan ke generasi selanjutnya. Tradisi itu mengandung ilmu kehidupan yang masih diterapkan dan perlu dilestarikan.

Monik bercerita, alam pikir Masyarakat Aru menganggap tanah dan alam layaknya perut ibu. Dalam bahasa Aru Selatan, mereka menyebutnya jina tubir yang bermakna perut ibu.

“Tanah kami adalah perut ibu, yang mengandung dan melahirkan generasi hebat, yang mampu untuk menjaga tanah itu sendiri dengan pemikiran dan akal sehat. Seperti seorang ibu, tanah ini adalah provider yang memberi segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia. Itu berarti kita harus menjaga tanah ini sama seperti menjaga mama kami sendiri,” katanya.

Kehidupan modern, pendidikan, dan adat

Kepulauan Aru terdiri dari pulau-pulau yang saling berhimpitan dan kaya hutan mangrove. (Foto: Forest Watch Indonesia)

Monik berasal di sebuah kampung kecil bernama Fatlabata. Ia pun menjalani kehidupan modern layaknya manusia lain. Kendati demikian, ia menaruh kearifan adat sebagai pegangan utama. Inilah kenapa ia memperjuangkannya.

Ayahnya pernah bergerak bersama 117 kepala kampung lain dalam gerakan #SaveAru untuk menyelamatkan Aru dari rencana menghancurkan hutan dan merampas tanah masyarakat adat. Jalan ayahnya itu pula yang memotivasinya.

Tantangan terbesar dari perjuangan Monik adalah tekanan sosial. Menurutnya, banyak orang underestimate, bahwa orang yang peduli lingkungan dan melakukan hal-hal yang tidak dibayar adalah useless. Mereka mempertanyakan Monik yang berpendidikan tinggi mau melakukan hal tersebut.

“Orang lain boleh berpendapat, tapi sayalah yang memutuskan apa yang terbaik bagi saya. Jadi, apa pun yang dilakukan untuk menghentikan saya, semua itu akan sia-sia,” ujar Monik.

Suatu ketika tawaran sangat menarik datang pada Monik. Ia dihadapkan pada dua pilihan: uang atau sekolah. Ia berpikir, dengan uang ia bisa membantu masyarakat adat untuk proses pemetaan wilayah adat. Tapi, uang bisa habis seiring waktu.

Ilmu dan pendidikan, pikir monik saat itu, akan bertahan bersamanya seumur hidup. Inilah yang kemudian membuat dia memutuskan untuk melanjutkan studi.

Dari Pemerintah Norwegia, Monik mendapatkan beasiswa S2 untuk belajar di jurusan English Linguistics and Language Acquisition, Norwegian University of Science and Technology. Ia menilai, pendidikan di Aru masih sangat membutuhkan perhatian dari generasi muda.

“Pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari kegelapan. Saya ingin menjadi salah satu orang yang berkontribusi terhadap dunia pendidikan di Aru. Saya ingin mempelajari bahasa Inggris, khususnya bidang linguistik, dan membawa sesuatu yang baru ke dunia pendidikan di Aru,” kata Monik yang fasih berbahasa Inggris.

***

Baca juga:

Propublika.id
Propublika.id
Portal berita dan cerita rintisan yang didirikan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2022. Sesuai namanya, kami berupaya menyajikan informasi relevan bagi publik. Selengkapnya lihat laman Tentang Kami.
Bagikan
Berikan Komentar