• Sastra
  • Mengenang Ignas Kleden #1: Simbolisme Cerita Pendek
Sastra

Mengenang Ignas Kleden #1: Simbolisme Cerita Pendek

Seri polemik sastra antara Ignas Kleden dan Afrizal Malna di Harian Kompas pada 1997. Sumber tulisan ini dari kliping yang dilakukan kerabat kerja ProPublika.id.

Sosiolog Ignas Kleden. (Foto tangkapan layar dari akun Youtube Kosakata Bersama Ichan Loulembah)

Catatan Redaksi: Ignas Kleden, salah satu pemikir dan intelektual terbaik yang dimiliki Indonesia, berpulang pada 22 Januari 2024 di Jakarta. Ignas yang lahir di Larantuka, Flores, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948, menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ilmu Filsafat dan Teologi, Seminari Tinggi Katolik St. Paulus, Ledalero, Maumere, Flores (1966-1974). Gelar Filsafat Politik (MA Phil) diraihnya pada Hochschule Fuer Philosophie, Munich, Jerman (1979–1982). Ignas juga meraih gelar Doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995).

Ignas punya sumbangsih besar pada wacana sastra, kebudayaan, dan pemikiran sosial di Indonesia. Sejak muda ia sudah menulis berbagai esai, opini, atau kritik di media massa. Kejernihan, kejujuran, dan konsistensinya dalam menelaah berbagai problem sosial membuat Ignas diakui sebagai cendekiawan yang berpengaruh.

Untuk mengenang berpulangnya Ignas Kleden, ProPublika.id menerbitkan polemik yang melibatkan Ignas Kleden dan sastrawan Afrizal Malna. Ini merupakan hasil kliping yang dilakukan kerabat kerja ProPublika.id.

Terbitan koran Kompas pada Agustus 1997 menyajikan polemik antara Afrizal Malna dan Ignas Kleden mengenai kesusastraan. Selain untuk mengenang pemikiran Ignas, kami menerbitkan arsip ini dengan tujuan memperluas ide bahwa polemik penting dibaca kembali untuk memahami konteks, menyemai tradisi intelektual, dan menghargai pemikiran—hal yang hari ini jarang terjadi di tengah perdebatan di kolom komentar media sosial, yang sering kali hanya dilontarkan dengan beberapa kalimat saja.

Untuk terbitan pertama ini, kami menerbitkan esai Ignas Kleden yang terbit di Kompas Minggu, 29 Juni 1997 di halaman 21, berjudul “Simbolisme Cerita Pendek”. Hal ini yang kelak menjadi polemik saat Afrizal Malna membahasnya pada Kompas Minggu, 03 Agustus 1997 pada halaman 21. Seri polemik ini akan kami terbitkan setiap hari dalam beberapa hari ke depan.

Ada total enam tulisan dalam polemik ini yang bisa dilihat di tautan berikut: klik!

***

 

Simbolisme Cerita Pendek:

Butir-butir Uraian untuk Peluncuran Cerpen Pilihan “Kompas” 1997

(Arsip Kompas Minggu, 29 Juni 1997 Halaman 21)

 

Oleh Ignas Kleden*

 

PERTANYAAN yang menarik saya dan yang coba saya selidiki dalam seluruh epilog buku Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan adalah sebuah pertanyaan yang mengganggu saya sejak beberapa tahun terakhir, tetapi yang jawabannya belum pernah saya peroleh secara memuaskan.

Pertanyaannya adalah: apakah yang membuat sebuah teks kesusasteraan berbeda dari teks-teks lain, seperti teks jurnalistik atau sebuah laporan penelitian ilmu sosial? Apakah yang membedakan sebuah cerpen atau novel tentang para gelandangan (misalnya cerpen Tujuh Belas Tahun Lebih Empat Bulan, karangan Ratna Indraswari Ibrahim dalam kumpulan ini) dan sebuah laporan Kompas tentang gelandangan, dan apa pula yang membedakan sebuah teks iklan tentang perlengkapan meja-makan dan puisi Goenawan Mohamad tentang sebuah poci?

***

PERTANYAAN tersebut mungkin sekali tidak pernah menarik buat seorang sastrawan atau seniman umumnya, karena pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan kreatif tetapi pertanyaan teoretis. Yaitu dapatkah diperoleh satu atau beberapa kerangka teoretis yang dapat menjelaskan unsur khas yang menyebabkan teks kesusasteraan mempunyai semacam “nilai-tambah” dan membuatnya berbeda dari jenis-jenis tulisan lain? Penyelidikan tentang masalah terebut barangkali tidak akan banyak membantu atau mendorong sastrawan kita agar menulis lebih banyak dan lebih baik, tetapi dia amat membantu pengertian dan apresiasi tentang suatu cipta sastra. Sudah jelas bahwa pertanyaan tersebut pada tempat pertama mengganggu saya sendiri sebagai seorang pembaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Sekalipun dalam praktik saya merasakan dengan jelas perbedaan antara sebuah teks sastra dan sebuah teks ilmu sosial misalnya, saya seringkali tidak dapat merumuskan perbedaan tersebut secara konseptual agar supaya dengan cara itu memperjelas masalah tersebut untuk pengertian saya sendiri.

***

PERMINTAAN Kompas kepada saya menulis epilog ini menjadi kesempatan bagi saya untuk menyelidiki masalah tersebut dengan sedikit lebih mendalam, dengan merujuk pada beberapa teori yang sebetulnya tidak khusus berhubungan dengan sastra dan seni, tetapi berhubungan dengan metode dan teori intrepretasi, yang dalam metodologi, dinamakan disiplin-disiplin hermeneutik.

Seperti sudah diketahui, hermeneutik, secara sederhana, adalah cabang ilmu dan filsafat yang menyelidiki syarat-syarat dan aturan-aturan metodis yang dibutuhkan, baik dalam usaha memahami (understanding/verstehen) makna sebuah teks maupun dalam menafsirkan isi sebuah teks (interpretation/auslegen), apabila makna tersebut tidak jelas. Hermeneutik pada dasarnya berhubungan dengan teks tertulis, yang harus ditangkap maknanya berdasarkan hubungan-hubungan kebahasaan yang ada dalam teks, atau hubungan antara teks dan situasi psikologis pengarangnya, maupun dalam hubungan dengan konteks di mana teks tersebut diciptakan. Dengan demikian teks bisa dilihat dalam berbagai hubungan berbeda, sekalipun berkaitan satu sama lain. Jadi sebuah teks bisa dilihat dalam hubungan dengan dirinya sendiri (aspek tekstual), bisa pula dilihat dalam hubungan dengan pengarang (aspek autorial) dan bisa dilihat pula dalam hubungan dengan konteks di mana teks tersebut diciptakan atau diproduksi (aspek kontekstual), atau dalam hubungan dengan pembaca teks (aspek resepsionis).

Dalam bahasa lisan hermeneutik dianggap tidak berperanan, karena hubungan langsung antara pembicara dan pendengar masih memungkinkan bahagian yang tidak jelas dari pembicaraan dapat langsung diperjelas oleh tanya-jawab antara pendengar dan pembicara. Jadi hermeneutik berurusan dengan pengertian akan makna sebuah teks tertulis, dan dalam hal terganggunya pengertian tersebut, mengajukan interpretasi sebagai jalan untuk memperbaiki dan memulihkan pengertian yang terhalang dalam menangkap makna teks tersebut.

Dalam sejarah perkembangannya, hermeneutik mengalami beberapa tahap perkembangan. Muncul mula-mula sebagai metode eksegetis untuk menafsirkan teks-teks kitab suci, dia kemudian berkembang menjadi metode filologi untuk menafsirkan teks-teks sastra klasik Yunani dan Latin, selanjutnya oleh Schleiermacher dibakukan menjadi suatu metode umum interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab suci dan sastra klasik. Dilthey kemudian menerapkannya menjadi metode sejarah, dilanjutkan Gadamer yang menjadikannya metode filsafat dan pada saat ini Paul Ricoeur menjadikannya metode baik untuk filsafat dan teologi maupun untuk ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora.

TENTU saja pendekatan hermeneutik hanya salah satu dari jalan- jalan yang tersedia dalam Geisteswissenschaften atau ilmu-ilmu humaniora untuk mendekati persoalan makna sebuah teks tertulis. Ada pendekatan lain yang barangkali juga sama baiknya seperti semiotik, pragmatik, analytical philosophy dari Inggris atau filsafat bahasa ala Wittgenstein atau teori Chomsky tentang competence and performance dan lain-lain. Percobaan ini saya lakukan sebagai usaha melihat dan memahami sebuah teks sastra dengan bantuan teori yang saya kenal, karena saya ingin sedikit membuktikan bahwa dalam membaca sebuah teks sastra, bantuan teori sering kali sangat besar manfaatnya asal saja dua syarat terpenuhi.

Pertama, asas-asas teori itu diketahui dengan baik. Kedua, ada kemampuan pada pembaca menerapkan teori tersebut untuk masalah teoretis yang juga dirumuskan dengan jelas. Ini barangkali pendekatan seorang peneliti, yang tidak populer untuk pembaca sastra, tetapi yang saya anggap boleh dan pantas dikemukakan sebagai alternatif.

Seperti sudah saya kemukakan pada awal uraian ini, masalah teoretis yang menjadi perhatian saya kali ini adalah apakah yang membuat sebuah teks menjadi genre sastra atau suatu genius literarium?

***

UNTUK menjawab pertanyaan tersebut saya memakai teori filsuf post-strukturalis dari Perancis, Paul Ricoeur. Dia membedakan makna teks pada umumnya atas dua jenis. Yang pertama sense atau makna tekstual, dan yang kedua reference atau makna referensial. Makna tekstual adalah makna yang diproduksi oleh hubungan-hubungan dalam teks sendiri. Sedangkan makna referensial adalah makna yang diproduksi oleh hubungan antara teks dengan dunia-luar-teks.

Teks-teks ilmu sosial misalnya adalah teks yang diharap dan dituntut untuk menunjuk seteliti mungkin makna referensial, berupa dunia empiris yang diamati atau diselidiki. Makna tekstual sedapat-dapatnya ditekan sampai minimal. Sebaliknya pada puisi, makna referensial ditekan sampai minimal atau disuspendir supaya seluruh bobot diberikan pada makna tekstual. Ucapan Ricoeur yang sering dikutip mengatakan: a poem means all that it can mean (sebuah sajak mengandung makna sebanyak yang dapat dikandungnya). Di sini referensi ditekan sampai titik terendah, agar supaya dengan itu makna tekstual diberi kemungkinan sepenuh-penuhnya berkembang.

Novel atau cerpen, pada hemat saya, terletak kira-kira di antara dua kutub tersebut karena novel atau cerpen adalah gabungan dari makna tekstual dan makna referensial. Ricoeur menyebutnya sebagai event-meaning dialectics atau dialektika makna-peristiwa. Sebuah cerpen harus mengandung peristiwa, karena kalau tidak dia akan berubah menjadi esei atau puisi. Demikian pun cerpen yang sama harus mengandung makna (yang di sini berarti makna tekstual) karena tanpa itu dia akan menjadi laporan penelitian, atau laporan jurnalistik biasa. Tentu saja ada cerpen yang lebih menekankan makna referensial dan ada pula cerpen yang menekankan makna tekstual. Namun demikian cerpen dan novel menjadi menarik, karena sebuah peristiwa tidak diceritakan sebagai kejadian semata-mata tetapi juga sebagai tamsil atau ibarat yang melambangkan makna tertentu.

Sekalipun demikian hubungan antara makna dan peristiwa adalah hubungan yang bersifat simbolik. Peristiwa yang diceritakan tidak selalu mendukung makna tekstual yang hendak dicapai, tetapi dalam banyak kasus dapat saja menghalangi munculnya makna tekstual. Demikian pun makna tekstual yang terlalu dipaksakan dapat menghilangkan unsur peristiwa dalam cerpen, dan menjadikannya esei atau uraian biasa. Simbolisme yang saya sebutkan dalam judul tulisan tidak berarti lain dari ketegangan tetap antara makna dan peristiwa dalam suatu lingkaran hermeneutik.

Teori tentang makna dan peristiwa, atau tentang sense and reference inilah yang menjadi pegangan saya untuk membahas 18 cerpen pilihan Kompas tahun 1997 yang dimuat dalam Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan. Bagaimana hal tersebut sudah coba saya lakukan, dapat dibaca dalam epilog buku ini dan tidak akan saya ulang sekali lagi dalam kesempatan ini. Tetapi izinkanlah secara singkat saya memberikan beberapa ilustrasi lain untuk sedikit memperjelas apa yang saya maksudkan.

Novel Mochtar Lubis Harimau! Harimau! misalnya akan hanya merupakan cerita pengalaman atau petualangan biasa para pemburu binatang buas bila pengarang tidak mengisinya dengan makna tekstual. Cerita itu kemudian menjadi cipta sastra, karena orang-orang yang memburu harimau tiba-tiba disadarkan bahwa mereka terlebih dahulu harus membunuh harimau dalam diri mereka masing-masing.

Pada hemat saya makna tekstual novel itu mencapai puncaknya pada saat terjadi pertentangan dan timbul perkelahian antara pemburu tua yang dianggap sakti bernama Wak Katok dan seorang pemburu muda, murid silat Wak Katok, bernama Buyung. Keduanya berusaha memperebutkan senapan yang merupakan satu-satunya senjata api dalam kelompok mereka. Wak Katok, yang kemudian diketahui jahat dan penuh tipu muslihat dan pendusta pula, akhirnya kalah dalam perkelahian melawan Buyung dan temannya Sanip, dan diikat pada sebatang pohon. Hal itu dilakukan Buyung dan Sanip dengan maksud memancing harimau datang ke tempat itu dan kemudian dapat menembaknya dengan mudah. Dalam pada itu timbul juga godaan dalam diri Buyung untuk membiarkan saja Wak Katok diterkam dan dihabiskan saja oleh harimau, dan mereka dapat kembali ke kampung dan dapat bercerita dengan tenang kepada orang- orang sekampung bahwa Wak Katok hilang diterkam binatang buas. Tetapi Buyung ingat dia harus mengalahkan godaan itu, dan membunuh harimau dalam dirinya.

Akhirnya datang juga harimau (sungguhan) ke tempat itu, dan mulai mendekati Wak Katok yang terikat pada batang pohon. Buyung membidikkan senapannya ke arah harimau itu, tetapi ragu-rgu untuk menarik pelatuknya, karena terlintas juga dalam pikirannya untuk membiarkan saja Wak Katok dihabisi harimau itu. Pada akhirnya, dengan berat hati dia memutuskan menembak harimau itu. Ketika dia melepaskan tembakan dan harimau itu roboh, hatinya terasa lega dan tenang. Ternyata, tanpa disadarinya, hanya dengan satu butir peluru dia telah menaklukkan dua ekor harimau sekaligus, yaitu harimau hutan yang suka membunuh orang-orang kampung dan harimau dalam dirinya sendiri yang selalu meronta-ronta dalam hatinya untuk melakukan kejahatan.

Hal yang sama dapat kita rasakan bila membaca sebuah sajak. Seorang peneliti yang meninjau tempat pembuatan poci mungkin akan tertarik hatinya untuk melihat bagaimana para pengrajin mendapat modal untuk usahanya, bagaimana mereka membuat pembagian kerja dan pembagian keuntungan, atau usaha yang mereka lakukan untuk mengembangkan pemasaran. Demikian pula akan diselidiki teknologi usaha mereka: bahan-bahan baku yang digunakan dan dari mana diperoleh, proses yang dilewati dalam menghasilkan poci, dan segi- segi estetik yang dikembangkan dalam usaha tersebut.

Akan tetapi seorang penyair melihat poci sebagai usaha manusia yang sekalipun tahu bahan pembuat poci itu adalah bahan yang mudah retak dan pecah, tetap berusaha menciptakan poci itu sebagai sesuatu yang diharapkan dapat bertahan lama dan bahkan abadi. Poci adalah tamsil untuk hasrat Sisyphian manusia yang bekerja untuk sebuah ilusi, yang hendak mengabadikan apa yang diketahuinya kelak retak.

 

Apa yang berharga pada tanah liat ini
Selain separuh ilusi?
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi

(Goenawan Mohamad, Kwatrin Tentang Sebuah Poci).

 

Makna tekstual yang sama muncul kembali dalam sajak yang lain dari penyair yang sama, berjudul: Pada Sebuah Pantai: Interlude. Dalam sajak ini dikemukakan kembali situasi yang begitu rapuh dan juga ilusoris dari kehidupan manusia yang hanya bersandar pada angin, bersandar pada “mungkin”, karena kepastian dan kejelasan terlihat sebagai hal yang mustahil dan karena itu juga tak perlu diharapkan.

kita memang bersandar pada mungkin
kita bersandar pada angin
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua memang bisa ditanya untuk-apa
Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga
pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang,
lumut pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana –
apa pun maknanya.

 

Sastra, bagi saya adalah “kersik pada karang, lumut pada lokan, (yang) mungkin akan tetap di sana—apa pun maknanya”. ***

 

*) Ignas Kleden, sosiolog.

Propublika.id
Propublika.id
Portal berita dan cerita rintisan yang didirikan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2022. Sesuai namanya, kami berupaya menyajikan informasi relevan bagi publik. Selengkapnya lihat laman Tentang Kami.
Bagikan
Berikan Komentar