Oleh Daniel Dhakidae*
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan
PRAMOEDYA lahir untuk menulis: hij leefde om te schrijven en schreef om te leven, dia hidup untuk menulis dan menulis untuk hidup (247). Menulis baginya hampir-hampir menjadi iman. Dan pengalaman menulis tidak lain dari het creative mysticum, suatu pengalaman mistik dalam dunia cipta literer. Hanya dunia inilah yang tidak bisa dirampas oleh siapa pun, tidak oleh Koninklijk Nederlandsch Indische Leger, KNIL, tentara Hindia Belanda, dan tidak juga oleh Koninklijk Leger, KL, tentara Belanda metropolitan, dengan semua bayonet dan senjatanya. Ini seolah-olah menjadi suatu pulau mistik. Sebuah pulau di mana kawulo lebur-lumer jadi satu dengan sang Gusti; di sana sang kala berhenti beredar. Di sana kerja kreatif beralih bentuk menjadi iman (249).
Hanya perjalanan hidupnya yang bisa berfungsi untuk menjelaskan semuanya. Sekolahnya sama sekali tidak mungkin menjadi persiapan untuk menulis. Hampir tidak bisa dibayangkan seorang yang hanya berijazah Sekolah Rendah bisa menjadi penulis dengan kaliber itu. Kalau pranata minim mampu menghasilkan karya agung maka karya semacam itu tidak lain dari suatu gejala dunia sehingga tanpa ragu-ragu profesor Teeuw menyatakan:”…de Karya Buru zijn in elk geval een unieke verschijning in ì de wereldliteratuur“, suatu gejala unik di dalam kesusastraan dunia (242). Tidak ada penjelasan lain tentang itu daripada karena adanya suatu etos keras dalam dirinya yang memungkinkan dia menjadi penulis.
Etos keras saja tidak cukup. Etos tersebut harus dihidupkan di dalam suatu pengalaman dan suatu struktur pengalaman yang kental. Dalam hubungan itu ada tiga jenis pengalaman yang menurut profesor Teuuw menjadi sumber inspirasi terpenting bagi Pramoedya. Pertama, pengalaman hidupnya sendiri, dan itulah dan hanya itulah yang menjadi sumber inspirasi bagi roman-roman awalnya seperti Di Tepi Kali Bekasi dan Mereka yang Dilumpuhkan yang menjadi hablur-hablur dari pengalaman yang dituang di dalam tulisan di penjara. Banyak manusia yang menghabiskan hidupnya di penjara, tetapi Pramoedya membikin penjara itu suatu pulau mistik.
Kedua, pengalaman pribadi dalam perjumpaan dan pertemuan dengan orang-orang lain. Inilah yang kira-kira menjelaskan semua roman yang berasal dari front revolusi seperti Pertjikan Revolusi; Tjerita dari Djakarta; Sekali Peristiwa di Banten Selatan.
Ketiga, sejarah menjadi sumber terpenting bagi Pramoedya untuk menulis. Pada hemat saya, yang disebut sejarah bagi Pramoedya tidak lain dari pengalaman itu jua meski sejarah lebih menjadi suatu pengalaman kolektif, baik bagi suatu bangsa maupun suatu komunitas yang lebih besar lainnya. Karena itu di dalam dirinya hidup suatu passion dan dengan itu compassion bukan saja untuk mempelajari sejarah, tetapi menenggelamkan dirinya di dalam pengalaman sesamanya di tempo doeloe dengan suatu pathos dalam pencarian dan pemberian makna kepada sejarah, dan dengan itu sejarah dihadirkan kembali menjadi masa kini dalam karya sastranya.
Karena itu setiap kali pembaca ditempatkannya dalam keraguan besar tentang apakah yang sedang dia nikmati dalam roman-roman Pramoedya Ananta Toer sejarah atau fiksi, kenyataan atau mimpi, biografi atau khayalan. Dan tiba-tiba semua pisau analisis yang membagi-bagi roman Pramoedya dalam konsep binarium arus atas dan arus bawah tidak lagi berbunyi. Arus atas lebur-lumer dalam arus bawah; arus bawah lebur -lumer dengan arus atas. Tidak ada lagi batas-batas yang memisahkannya.
Tiba-tiba orang terperanjat karena setiap pembaca dipaksa untuk memberikan tafsiran tentang tokoh roman seperti Minke. Apakah Minke adalah Tirtoadi Soerjo? Apakah Minke adalah Pramoedya Ananta Toer? Ataukah Pramoedya adalah Tirtoadi Soerjo? Dan setiap kali setiap pembaca—pribadi, kelompok, atau pun negara—dipaksa atau terpaksa mengadakan dialog dengan bukunya atau dengan dirinya sendiri sambil mengacau-balaukan tempat keduanya: fakta dan fiksi, kenyataan dan mimpi, biografi dan khayalan, tokoh cerita dan penulisnya Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya dalam arti itu mengguncang-guncang setiap orang dan bagi setiap pembaca diajukan pertanyaan Teeuw apakah karya-karya itu ergelijk of geloofwaardig, beschamend of verkwikkend, kwetsend of inspirerend, menyakitkan atau pantas diyakini, memalukan atau menyegarkan, menyiksa atau membangun inspirasi (242).
Bersama itu pengarangnya tampil dalam dua wajah sekaligus: seorang jenius dan penghujat. Semua pembaca terbata-bata. Terlalu serius menganggapnya penghujat seorang lantas terjerumus ke dalam aksi seperti menangkap yang membaca dan menangkap yang menjual. Tetapi reaksi itu sudah melampaui batas, karena ini tidak lain dari suatu cerita dan memang hanya cerita—tidak kurang, tidak lebih.
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang berada di dalam cengkeraman penulisnya, dan di tangannya bahasa menjadi ilham. Dengan komplikasi, yang dengan rumit dibicarakan oleh professor Teeuw, dia menunjukkan kemampuannya mempergunakan dan menaklukkan bahasa Indonesia ke dalam dirinya (taalkunst, p.283-290) dan dengan kemampuan teknik bercerita (verteltechniek, hal.258-274) Pramoedya berkuasa mengubah-ubah perspektif dari satu ke yang lain. Semuanya memabukkan para pembaca yang tidak mampu lagi memutuskan apakah ini dongeng atau historia.
Pada tahap itu profesor Teeuw hampir-hampir tidak dapat mengekang dirinya lagi, atau lebih tepat bila dikatakan dia tidak mempedulikan ke-profesor-annya, tetapi membiarkan dirinya hanyut, lebur-lumer dalam pembahasannya dan terutama lebur dalam karya-karya Pramoedya. Dia tidak bisa berujar lain daripada mengatakan bahwa seluruh karya Ananta Toer bukan saja menunjukkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa sastra, tetapi juga menunjukkan pertumbuhan Pramoedya dalam bahasa ini selama lima puluh tahun karyanya, pertumbuhan keduanya: bahasa Indonesia dan Pramoedya Ananta Toer sendiri van vroegrijpe leerling en beginnend schrijver tot volleerd meester en taalkunstenaar (295): dari sang magang dan penulis pemula yang matang-karbit sampai mencapai kepenuhan seorang maestro dan seniman bahasa.
Berulang kali di pelbagai tempat dalam buku ini disebutnya Pramoedya Ananta Toer sebagai seorang pujangga, een meester, dan penggarapan karya-karyanya, teknik penulisannya meesterlijk! (tersebar di mana-mana, tetapi, antara lain bisa dilihat di halaman 230; 244;273; 283;285).
Kalau ini benar maka sudah saatnya kesusastraan Indonesia beranjak ke tingkat baru karena sudah membuktikan dirinya dan masuk ke dalam kesusastraan Dunia melalui tangan Pramoedya Ananta Toer!
Menuju hadiah sastra dunia
Ada dua kesimpulan utama yang mau dipetik dari buku ini. Pertama, tentang profesor Teeuw, sang penulis buku. Ketika menulis buku pertamanya tentang kesusatraan Indonesia Pokok dan Tokoh, maka profesor Teeuw lebih menjadi seorang guru yang baik, penulis buku teks pengantar bagi “anak-anak sekolah”.
Terbitnya buku ini menampilkan Teeuw sebagai sosok berbeda dari yang pernah dikenal selama ini: dia juga berubah. Di pihak lain, terbitnya buku ini mengisi sejenis kekosongan di dalam kesusastraan Indonesia mutakhir. Sudah lama ada diskusi yang mencerminkan keprihatinan dalam masyarakat sastra tentang tidak adanya kritik seni dan sastra yang memadai, dan dengan itu terutama dipersoalkan di mana posisi kritik sastra.
Tentu, tidak akan ada kritik sastra tanpa adanya karya sastra. Sebaliknya, tanpa kritik sastra maka kesusastraan berjalan sicut coecus in via, seperti si buta di jalanan. Namun buku Pramoedya Ananta Toer, de Verbeelding van Indonesi menjawab dua-dua pertanyaan di atas. Di sana ada jawaban tandas tentang bagaimana seorang kritikus sastra bekerja; dan terutama lagi di sana ditoreh posisi kritik sastra dalam kesusastraan Indonesia. Malah lebih dari itu buku ini langsung ke jantung soal. Buku ini contoh terbaik bahwa kritik sastra adalah the art in itself, seni dalam dirinya sendiri. Profesor Teeuw memukau pembaca dari alinea ke alinea, dari bab ke bab. Kata demi kata adalah pilihan demi pilihan. Mengupas sastra adalah karya sastra itu sendiri.
Salah satu pisau analisis Teeuw adalah memakai konsep binarium, arus atas dan arus bawah. Kalau boleh saya pinjam konsep itu, maka bisa dikatakan bahwa Teeuw adalah arus atas, yang membuka kenyataan hidup yang diiming-imingkan suatu karya sastra; dan Pramoedya adalah arus bawah, yang mengolah dan mempermainkan simbol-simbol.
Di dalam buku ini keduanya lebur-lumer. Kita tidak dapat membedakan lagi mana arus atas mana arus bawah. Siapa sang maestro di sini, penulis roman, Pramoedya Ananta Toer, atau profesor Andries Teeuw, sang kritikus. Kalau Teeuw mengatakan bahwa dalam tetralogi Karya Buru het vakmanschap van Pramoedya zijn hoogstepunt bereikt (hal. 266), dengan tetraloginya kepiawaian Pramoedya mencapai titik puncaknya, maka hal yang sama bisa dikatakan tentang Teeuw. Buku ini membuktikan yang sama bahwa kepiawaian Teeuw mencapai titik puncaknya.
Kalau demikian halnya maka kesimpulan pun tidak bisa lain daripada bahwa buku ini adalah karya besar, une oeuvre, yang keluar dari tangan seorang maestro tentang maestro!
Kesimpulan kedua, tentang Pramoedya Ananta Toer. Dalam hampir semua roman yang ditulisnya tergambar paradoks…paradoks…dan lagi-lagi… paradoks, sebagai buah langsung dari dialektika tanpa henti antara cerita dan kenyataan, dunia dongeng dan dunia sungguh-nyata, sejarah dan khayalan. Cerita adalah kenyataan; sebaliknya kenyataan adalah cerita semata-mata. Yang kelihatan seperti dongeng adalah dunia sungguh-nyata dan dunia sungguh-nyata cuma dongeng semata-mata. Khayalan adalah sejarah dan sejarah adalah khayalan belaka.
Pramoedya menenggelamkan pembaca-pembacanya dalam kenyataan di balik cerita-ceritanya, dan memaksanya untuk tetap mengajukan pertanyaan ganda:”apakah betul begitu?” dan “Pramoedya-kah itu” yang bermain di dalam tokoh-tokohnya? (265-266) Pembaca terombang-ambing di dalam ketegangan yang tidak pernah mencapai kata putus. Di sana fakta dan fiksi bercampur baur dan semuanya mencapai puncaknya dalam tetralogi Karya Buru di mana semua perbedaan bersintesis di dalam kesatuan yang lebih tinggi (hogere eenheid) di bawah tangan seorang maestro (273).
Tragis, bahwa semua paradoks ini terjelma langsung pula di dalam diri pengarangnya, Pramoedya Ananta Toer. Dia dihilangkan dari sejarah sastra Indonesia. Namun, terjadi lagi paradoks di sini. Dia hadir justru karena ke-tidak-hadir-annya. Semakin dia dihilangkan semakin dia hadir di dalam kesusastraan Indonesia dan kesusastraan dunia, dalam daging dan darah. Mari kita kutip apa yang ditulis oleh profesor Teeuw:
Zo is Pramoedya Ananta Toer paradoxaal genoeg afwezig en tegelijk volop aanwezig in de Indonesische literatuur. In eigen land gekooid en monddood gemaakt, geldt hij tegelijk internationaal als de hoofdpersoon van de literatuur van Indonesie . Zonder zijn werk zou de wereld nauwelijks weet hebben van het bestaan van een moderne Indonesische literatuur. Het is inderdaad ironisch dat de man die in Indonesi niet gelezen mag worden en wiens werk aan de jeugd van zijn land geheel onbekend is, tegelijk door de kwantiteit en de kwaliteit van zijn oeuvre in de gehele wereld meer doet dan welke kunstenaar ook voor de bekendheid van dat zelfde Indonesi (p.46).
Demikian, Pramoedya Ananta Toer secara cukup paradoksal hilang dan sekaligus hadir sepenuh-penuhnya di dalam kesusastraan Indonesia.
Di dalam negerinya sendiri dia disimpan di dalam sangkar dan mulutnya ditutup mati; tetapi pada saat yang sama secara internasional dia menjadi tokoh utama kesusastraan Indonesia. Tanpa karyanya seluruh dunia hampir-hampir tidak mengenal kehadiran kesusastraan Indonesia modern. Dalam pada itu ironis bahwa seorang yang karyanya tidak boleh dibaca di Indonesia dan karyanya tidak dikenal di kalangan kaum muda bangsanya, pada saat yang sama dengan kuantitas dan kualitas dari mahakaryanya lebih memperkenalkan Indonesia yang sama jua dibandingkan dengan seniman mana pun.
Dari proses ke proses, dengan bahan yang dikumpulkan selama empatpuluh tahun, Teeuw membongkar kerumitan dari seluruh kompleksitas kepengarangan Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya berubah dari satu tahap ke tahap lain. Di tengah perubahan itu, pada diri seorang yang tidak pernah berguru kepada siapa pun, ada sesuatu yang tidak berubah, yaitu usaha yang tidak kenal lelah: mencari, merebut keadilan, kebenaran dan keindahan. Semua diusahakannya dengan seluruh diri dan kekuatan yang ada padanya, dengan bahasa sebagai senjata.
Karena itu, demikian kata Teeuw dalam alinea terakhir, dan kalimat terakhir sebagai kesimpulan puncak bukunya: kekuatan untuk meyakinkan (overtuigingskracht), sikap-pantang-mundur (onverzettelijkheid), kreativitas Pramoedya—yang mempergunakan bahasa sebagai senjata selama hayat masih berdenyut di dalam tubuhnya untuk mencari dan mengejar kebenaran, kemanusiaan dan keadilan—sepatutnyalah mengangkat dirinya menjadi calon yang pantas bagi hadiah dengan reputasi internasional, hadiah Nobel untuk kesusastraan!
*Daniel Dhakidae, peneliti Kompas dan mantan Pemimpin Redaksi Prisma. Meninggal di usia 76 tahun di Jakarta, 6 April 2021.
***
Baca bagian pertama tulisan ini di: Pramoedya Ananta Toer, Pujangga Penuh Paradoks. Arsip lain soal Pram bisa dibaca di sini: Pram.