Catatan Redaksi: 6 Februari 2025 merupakan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terkemuka yang Indonesia miliki. Redaksi menerbitkan arsip tulisan ini untuk mengenang pemikiran dan kiprah Pram sekaligus untuk tujuan pendidikan bagi khalayak. Arsip ini kami tulis ulang sesuai ejaan dan salah ketik yang ada di dalamnya. Jika ada pihak yang keberatan terhadap penerbitan arsip ini, kami bersedia berdialog dan siap menurunkan arsip ini jika diperlukan. Sila hubungi redaksi di: propublika.id@gmail.com. Tulisan ini kami bagi menjadi tiga bagian. Berikut adalah bagian pertamanya.
Pokok karangan ini diberikan oleh panitia symposion senat Mahasiswa Fakultet Sastera Universitas Indonesia.
Bukan dari saja sendiri! Karenanja buat saja sendiri pun amat meragukan. Kata2 sasterawan dan modern jang tertjantum didalam pokok karangan tersebut terasa gojah. Saja sendiri tidak mengetahui tjarakerdja dan hidup sasterawan/letterkundige, orang jang menjiasati hasilsastera, dan bukan orang jang membuat hasilsastera/pengarang/author. Dan kata modern lebih-lebih lagi meragukan! Apa jang barangkali dianggap modern oleh seseorang mungkin buat golongan lain hanjalah suatu kemuskilan. Padahal soalnja hanja terletak pada selera! Baiklah, untuk melandjutkan pembitjaraan ini, kata2 sasterawan dan modern jang tersebut dipokok dikesampingkan.
Lahirnja seorang pengarang tidak lain daripada lahirnja suatu pengakuan, suatu pernjataan. Buah karangan adalah buah pengakuan—pengakuan adanja suatu kesaksian, suatu kehadiran jang biasanja tidak mendapat tempat dalam masjarakatnja sendiri, tidak mempunjai kesaksian dalam perasaan dan kebiasaan bersama atau konvensional. Maka dia memberontak, memproklamasikan kehadiran dan kesaksian dirinja. Dan selandjutnja: kesusasteraan adalah revolusi seorang diri. Balatentaranja baru kemudian datang, dan itupun tidak bersifat abadi. Balatentara ini ialah parapeminat atau parapendukung tjita sipengarang.
Demikianlah prototype seorang pengarang, sedang hubungan gonta-ganti antara sipengarang dan parapendukung atau peminatnja ditentukan oleh kemampuan pengarang dan kemampuan parapendukung atau peminat.
Barangkali tuan akan membantah, bahwa ada banjak pengarang jang tidak memberontak, bahkan malah sebaliknja: dia menjanji, menembang dari elegi ke elegi, memudja! Barangkali tuan akan menjatakan sekaligus, bahwa uraian diatas sekali pukul telah terbantah samasekali. Sebenarnja tidak demikian halnja. Menjanji, menembang ataupun memudja adalah bentuk lain dari pemberontakan jang langsung, jakni berontak terhadap masjarakat jang tidak menghargai sesuatu, dan karenanja sipengarang itu memudja, mengembalikan nilai jang semestinja dimiliki dan dikenali oleh masjarakatnja. Djuga ini suatu pemberontakan sekalipun sifatnja tidak langsung. Sekiranja tidak demikian, dapat didjawab djuga bahwa dalam segala hal dan disegala lapangan selalu terdapat keluarbiasaan, suatu variasi jang pada hakikatnja makin memperdjelas sifat sesuatu lapangan.
Njatalah, bahwa lahirnja seorang pengarang adalah pernjataan suatu pemberontakan, dan pemberontakan itu ternjata mendapat kemenangan, mendapat dukungan dari masjarakat. Banjak tjita jang tadinja hanja tersembunji dalam sanubari sipengarang mendapat bumi subur untuk hidup langsung. Dapat pula dikatakan, lahirnja seorang pengarang tidak lain daripada terdjadinja perebutan kekuasaan dalam masjarakat untuk membangunkan moral baru jang lebih sesuai dengan djaman, dengan kehadiran manusia diatas buminja sendiri. Adanja pemberontakan ini dengan sendirinja disebabkan karena adanja pandangan lain terhadap dunia keliling, terhadap hidup, terhadap nilai2 jang telah ada dan nilai2 jang tidak dihargai. Apabila seorang pengarang berperangai lain daripada warga-masjarakat lain2nja, maka ini hanjalah suatu konsekwensi daripada pandangannja jang berlainan tadi. Sekiranja perangai jang berlainan ini tuan dapati pada beberapa golongan pengarang atau perseorangan, dan perangai itu nampak di-buat2, biasanja ini bukan disebabkan karena adanja pandangan lain, tetapi hanjalah suatu mode kosong. Didalam banjak kelezatan selalu terdapat buih ataupun busa jang tidak termakan, tidak bisa dinikmati, atau se-tidak2-nja harus ditelan tanpa meninggalkan kesan kenikmatan, sekiranja tidak ditolak mentah2.
Banjak orang bilang dan mengakui, bahwa tak ada barang baru dibawah kolong langit ini. Dan tjita sipengarang, adakah dia barang usang djuga? Ah, tuan, saja sendiri mengakui, bahwa dikolong langit ini tak ada barang baru. Tetapi, djangan pula dilupakan, bahwa kebaharuan sesuatu terdjadi dari ramuan dan harmoni jang lain, bukan jang sudah umum, sehingga dengan demikian timbul panduan jang lain daripada jang lain2, dan biasanja dinamai baru. Dan nilai apakah jang baru bagi manusia ini! Tiap penderitaan dan kesukaan pernah dialami oleh tiap orang, djuga oleh tuan sendiri, hanja matjam dan bangun, isi dan makna dari penderitaan atau kesukaan itu mempunjai tempat jang ber-lain2an. Karena itu salahlah pendapat umum jang mengiakan, bahwa seorang pengarang lahir karena penderitaan! Kesadaran akan tempat penderitaan serta kesukaan, kemampuannja memberikan dan mempergunakan nilai keduanja, kesanggupannja merasakan nikmat dan hikmat ke-dua2-nja, semua inilah jang memungkinkan kelahiran seorang pengarang. Seorang jang bukan pengarang, tidak mempunjai perabaan seni pada umumnja, hidup dialam jang polos, tanpa warna, tetapi pengarang hidup dialam jang penuh dengan kontras serta perbandingan. Dari kontras dan perbandingan ini ia menimba kekajaan tida habis2nja—sesuatu jang dapat dikatakan tidak mungkin bagi mereka jang tidak mempunjai sangkutpaut dengan hidup seorang pengarang atau seniman pada umumnja. Kemampuannja merasakan nikmat dan hikmat penderitaan serta kesukaan, pandangannja jang lain daripada pandangan umum, kedjidjikannja terhadap hal2 tertentu dan pemudjaannja pada hal2 tertentu pula, adalah merupakan kegiatan2 kedjiwaan jang dahsjat, jang menentukan warna dan arah perdjuangan seorang pengarang.
Dan dengan demikian tuan telah ikuti kelahiran seorang pengarang. Apabila seseorang lahir karena perbuatan orang lain, maka seorang pengarang lahir sendiri, dilahirkan oleh dirinja sendiri. Dan apabila seseorang mati, kematiannja adalah akibat habisnja dajatahan dari djiwa atau raganja terhadap serangan dari luar, tetapi seorang pengarang mati sebagai pengarang karena kebangkrutan tjita. Bagaimanapun djuga mundur hasil2 tulisan seorang pengarang setelah terbit tulisan2nja jang terbaik, ia belum berhak dinamai mati, ia belum mati, selama masih terdapat pertjikan tjita, karena pertjikan2 ini mungkin kilat2 berlian tjita jang belum sempat dikembangkan setjara mendalam.
Hidup seorang pengarang didalam masjarakatnja mempunjai dua muka, muka pentjipta dan muka pengusaha. Ia mentjiptakan hasil kesusasteraan, dan sekaligus mengusahakan agar hasil itu beredar didalam masjarakatnja, atau kasarnja dapat dikatakan: ia berusaha merebut pasaran pembatja sebagai menampung tjitanja. Pendeknja ia membutuhkan nama, membutuhkan merk. Ada banjak terdapat pengarang terutama pengarang2 baru jang menjatakan diri tak membutuhkan pembatja. Betapapun djuga ditjari alasan pernjataan demikian tidak bisa masuk diakal. Seorang pengarang jang tidak membutuhkan pembatja tidak perlu mengarang. Barangkali bagi orang2 digelanggang kegiatan lain, terutama kegiatan bawahtanah, nama ini tidak penting, tetapi didalam dunia kesusasteraan iapun pernjataan suatu kehadiran, pendjilmaan dari adanja tanggungdjawab—dilihat dari djurusan sipengarang itu. Nama ini adalah manifestasi keseluruhan dirinja: Inilah aku! Keseluruhanku, kehadiranku, kesaksianku. Sehingga dengan demikian “Aku ini bintang”. Tetapi bagi pengarang jang punja dajatjipta besar, dengan alam hidupnja penuh kontras dan perbandingan, sebagai akibat dari perasaannja jang tadjam, ia dilahirkan tiap detik, dan memulai sedjarahnja ditiap detik pula untuk kemudian kembali muntjul dengan tjiptaan baru: dengan perhitungan dan penjelasan sedjarahnja.
Mengetahui ini, ialah memaklumi betapa perasaan sipengarang dan tjita jang hendak didukungkannja pada masjarakat itu ditolak. Dan mengetahui ini, maklumlah tuan bagaimana perasaan seorang pengarang jang mana tjita jang hendak didukungkannja pada masjarakat itu ditolak. Terutama sekali sekiranja ternjata, bahwa penolakan itu hanjalah beralaskan hal2 ketjil misalnja pelukisan2 jang ternjata kurang teliti, sehingga ada kesan adanja tokoh2 mati, adanja rekonstruksi kedjadian jang agak anachronis, kurangnja kesabaran sipengarang itu sehingga akibatnja maksud2 jang dikandungnja terlukis agak kabur, atau memberikan kesan kesebalikan daripada jang sebenarnja. Tiap pengarang sebelum menurunkan kandungan djiwanja keatas kertas mula2 sekali telah mendapat kejakinan, bahwa kerjanja mendatang bermaksud mengisi masjarakatnja dengan segala jang mungkin jang dianggapnja paling baik buat keuntungan bersama. Dapat dibandingkan ini dengan seorang pria jang dengan maksud2 baik mentjintai seorang wanita, dan ternjata tjinta dan maksud2 baiknja tertolak. Dan tjobalah tuan ikuti perasaan pria itu waktu diketahuinja, bahwa siwanita itu lebih suka memilih pria lain jang tiada mempunjai maksud2 baik dan pula tidak mentjintainja. Dapat djuga ini dibandingkan dengan seorang suami jang mengasihi dan mentjintai isterinja, seorang jang sedia mengerdjakan apa sadja untuk membahagiakannja, tetapi ternjata isteri ini tidak dapat mempergunakan dan menghargai serta menikmati usaha dan djerihpajahnja! Kemanakah sisuami ini harus menempatkan diri didalam rumahtangganja! Tiap podjok baginja mendjadi tempat siksaan! Sedangkan orang tahu, bahwa rumahtangga adalah tempat mula bagi perkembangan kebahagiaan. Perbandingan2 diatas amatlah tepatnja bagi kedudukan kemasjarakatan seorang pengarang.
Dan kalau tuan tahu, bahwa penolakan itu kadang2 tidak sampai disitu sadja akibatnja. Biasanja ia menimbulkan akibat2 lain, banjak, dan ber-sangkut2-an. Sebagaimana tuan ketahui, bilamana sisuami tidak mendapat tempat didalam rumahtangganja sendiri, biasanja ia berkembang mendjadi seorang jang liar atau ia mendapat tempat jang amat menjedihkan. Dan seorang pengarang, apabila ia tidak mempunjai kepribadian jang kuat, tak djarang ia malah menjadi benih perusak. Sisuami tidak pertjaja pada hidup kerumahtanggaan lagi, dan direguknja segala jang dianggapnja dapat mengisi kekosongan dalam djiwanja. Tak djauh bedanja dengan seorang pengarang. Ia dapat berkembang menjadi anarkis, tidak mempertjajai manfaat hidup kemasjarakatan, sebaliknja daripada membangun ia menghantjurkan dengan tiada bermaksud memberi bangunan baru pada segala jang telah dihantjurkannja.
Banjak kali seorang kritikus tidaklah mendjadi djembatan jang baik dan aman antara maksud2 sipengarang dengan pembatjanja. Dimanapun djuga selalu terdapat kritikus2 baru muntjul jang tidak taktis, djelasnja parakritikus jang tugasnja malah merupakan kebalikan daripada jang sebenarnja, jaitu mempermudah sampainja tjita sipengarang kedalam hati masjarakatnja. Terutama di-waktu2 parakritikus jang sebenarnja kurang memperlihatkan kegiatannja, atau mereka ini oleh sesuatu keadaan jang tidak menguntungkan harus terpaksa berdiam diri, maka dengan mendadak akan lahir kritikus2 jang tidak taktis, karena demi pengalamannja jang sedikit, dan disentakkan oleh pengetahuannja jang sedikit tentang kesalahan kritikus2 sebelumnja ataupun tentang keruntuhan mereka, melompat tampil kegelanggang. Mereka ini lebih banjak akan merupakan biangkeladi kesalahfahaman tentang pengarang dan hasiltulisannja daripada meletakkan nilai-nilai pada tempatnja jang wadjar. Adanja kenjataan2 ini bukanlah dimaksudkan sebagai anjuran pada kaum kritikus dan mereka jang mentjoba djadi kritikus untuk selalu mengiakan tulisan sipengarang atau memperlunak ketjamannja; djuga bukanlah dimaksudkan sebagai pembelaan dari golongan pengarang! Se-tidak2-nja amatlah menguntungkan bagi semua jang berkepentingan pabila mereka semua ini menjadari dan tahu batas2 daerah kewadjibannja masing2 serta mengerdjakannja sebaik mungkin. Perlunakan dengan sengadja dalam usaha mengritik tidak akan membawa kebaikan bagi semua jang berkepentingan. Seorang pengarang jang tampil kedepan, sudah berarti, bahwa ia telah bersiapsedia menghadapi segala konsekwensi dan kemestian2 sebagai pengarang. Iapun sudah terlebih dahulu bersedia menghadapi tantangan dan ketjaman, memperkuat diri terhadap pudjian dan sandjungan, agar diri dan pribadinja tidak hantjur-lebur oleh semua itu, dan sedapat mungkin mendjadikannja lebih kuat dengan bahan2 jang ada dan jang datang padanja.
Keterangan2 diatas itu tidak lain daripada djeritan pandjang golongan pengarang. Djuga sudah mendjadi hak sipengarang untuk berteriak pandjang sematjam itu. Kalau tuan maklum, betapa seorang pengarang tidak bisa bekerdja tanggung2, betapa ia bekerdja dengan seluruh hati dan pikirannja. Tiap pengarang mentjoba dengan sedjudjur hatinja untuk mentjiptakan tulisan jang sebaik mungkin, dengan seluruh kemampuannja, sekalipun karena sesuatu keadaan jang tidak menguntungkan kadang2 tulisannja tidak berharga samasekali. Tidak ada seorang pengarangpun jang bisa menulis serba tanggung2. Memang ada seorang jang mengarang tanpa mengerahkan seluruh kemampuan hati dan pikirannja, tetapi mereka ini adalah dari golongan copy-writer. Atau djuga karena pengarang itu karena hal2 tertentu alat2 kerdjanja terganggu.
***
Catatan: Kelanjutan pidato Pramoedya Ananta Toer bertajuk Hidup dan Kerdja Sasterawan Indonesia Modern, bisa dilihat di sini: Mengenang 100 tahun Pramoedya Ananta Toer (2)! Arsip lain soal Pram bisa dibaca di sini: Pram.