• Esai
  • Kucing Oren dan Politik Indonesia Akhir-Akhir Ini
Esai

Kucing Oren dan Politik Indonesia Akhir-Akhir Ini

Ilustrasi kartun dan elemen kucing menjadi inovasi teks populis Joko Widodo sebagai jalan keluar dari resistensi aktor-aktor politik formal dalam aliansinya.

Ucapan selamat hari ibu yang diunggah dalam akun X/Twitter Presiden Joko Widodo. (Source: https://twitter.com/jokowi)

Oleh: Ubaidillah
Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN
yang tengah menekuni kajian bahasa dan politik digital
.

Peningkatan karir politik Joko Widodo dari kantor walikota Solo, Balai Kota DKI Jakarta, sampai Istana Negara tidak terlepas dari kekuatan media massa membentuk personanya di hadapan masyarakat melalui berita. Posisi tersebut bertahan sampai paruh pertama periode kedua kepresidenan Joko Widodo, sebelum politik media massa mencari kemungkinan baru menjelang suksesi presiden anyar melalui pemilu 2024. Kelekatan media massa dan Presiden Joko Widodo bahkan membuat Warbutan dan Aspinall (2019) berpendapat bahwa respon publik tidak terdengar terhadap kebijakan Jokowi dalam menekan kelompok Islamis yang beroposisi. 

Menilik kembali posisi Joko Widodo dalam konstelasi elite nasional, kita akan mendapati dia menjadi figur unik karena naik ke puncak eksekutif politik tanpa memiliki infrastruktur terpenting, yaitu partai politik atau jaringan korporasi yang memungkinkan dia terhubung secara langsung dalam kerja ekonomi-politik media massa.

Baca juga : Cerita dari Taiwan: Gerakan ABK di Negeri Jauh untuk Hak Akses Wi-Fi

Joko Widodo selalu berada dalam posisi termediasi. Pada kanal partai politik, PDI-Perjuangan memediasi Jokowi dengan proses elite politik. Relasi kuasa di PDI-Perjuangan sendiri membuat Joko Widodo mau tidak mau berada dalam posisi subordinasi. Sebab, Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum menerima mandat kongres partai sebagai pemilik hak veto atas arah kebijakan partai. Konfigurasi kekuasaan di PDI-Perjuangan ini akhirnya melahirkan terminologi baru dalam tatanan politik presiden Indonesia, yaitu petugas partai. Terminologi petugas partai ini mengiringi karir politik Joko Widodo sejak 2014 saat dicalonkan pada pemilihan presiden 2014. Megawati sendiri yang menyampaikan terminologi ini kepada Joko Widodo.

Pada ranah politik media massa, relasi politik Joko Widodo dan Surya Paloh dapat menjadi contoh paling baik untuk melihat perjalanan bersama yang akhirnya menemui perpisahan di ujung masa kepresidenan. Surya Paloh menjadi ketua umum Partai Nasional Demokrat sekaligus pemilik grup Media Indonesia yang memiliki stasiun televisi, surat kabar harian, serta media daring. Aliansi ini membuat Joko Widodo terhubung dengan jaringan yang dimiliki oleh Surya Paloh tersebut. Sampai akhirnya pada periode kedua, Jokowi menempatkan Johny G Plate, salah seorang tokoh Partai Nasional Demokrat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika. Johny G Plate ini divonis penjara 15 tahun karena melakukan korupsi infrastruktur telekomunikasi menara base transceiver station (BTS). 

Puzzle politik ini perlu ditempatkan dalam gambaran besar keretakan aliansi Surya Paloh dengan Joko Widodo. Sebelum kasus Johny G Plate ini diumumkan pada pertengahan Mei 2023, Surya Paloh sudah dikucilkan oleh Joko Widodo dengan tidak mengundangnya dalam pertemuan ketua partai politik koalisi pemerintah pada awal Mei 2023, dan hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari perubahan arah politik Surya Paloh yang mengusung Anies Baswedan—seorang tokoh yang memenangkan pemilihan gubernur Jakarta 2017 dengan dukungan dari partai dan kelompok Islamis yang berseberangan dengan Joko Widodo—menjadi calon presiden 2024. 

Politik Visual

Aliansi Joko Widodo dengan partai politik ini melahirkan terminologi politik sandera sebagai bentuk hubungan patron-klien yang diperantarai dosa, biasanya berupa kasus korupsi. Dua hari berselang setelah vonis putusan pidana terhadap Johny G Plate, Media Indonesia menerbitkan editorial berjudul ‘Politik Sandera Rusak Pesta Demokrasi’ yang menyebut “… hukum tak ubahnya sekadar alat transaksi untuk tarik ulur kepentingan politik”. Editorial ini mengandung ambiguitas tatkala dibaca dalam bingkai pembelaan terhadap Johny G Plate. Sebab, editorial ini memuat pula ilustrasi visual yang bertuliskan ‘bansos’ atau bantuan sosial. Johny G Plate sendiri tidak terjerat kasus korupsi bantuan sosial, justru Juliari Batubara—eks menteri asal PDI-Perjuangan—yang terjerat kasus tersebut pada 2021 lalu. 

Komposisi tekstual dan visual artikel editorial ini menarik. Sebab, ia menarik garis intertekstualitas yang memfigurasi politik sandera telah berlangsung sebelum era pemilihan presiden 2024 ini. Dari bingkai editorial tersebut, paling tidak politik sandera telah dilaksanakan sejak kasus korupsi bantuan sosial sampai kasus gratifikasi yang menjerat Syahrul Yasin Limpo, menteri kabinet Jokowi lain yang berasal dari Partai Nasional Demokrat. Pada pidato peringatan HUT ke-51 minggu lalu (10/1/2024) Megawati Soekarnoputri pun mengandung bagian yang mempersoalkan perihal penegakan hukum yang politis, seperti dalam pernyataan ‘… Sekarang hukum itu dipermainkan, bahwa kekuasaan dapat dijalankan semau-maunya …’.

Kerapuhan aliansi politik yang dibentuk Joko Widodo pun telah menghasilkan bentuk politik visual. Media massa yang terkoneksi dengan aliansi partai politik telah berubah arah dukungan politik seiring masa demisioner seorang Joko Widodo sebagai presiden semakin dekat. Media sosial menjadi salah satu pilihan Joko Widodo untuk mempertahankan pesona politiknya karena memungkinkan dia terhubung secara langsung dengan perhatian publik, tanpa perlu dimediasi pemberitaan media massa maupun partai politik. Melalui akun media sosial miliknya, Joko Widodo menyampaikan agenda harian, pandangan terhadap suatu permasalahan, atau sosialisasi keputusan politik tertentu. Penyampaian narasi-narasi tersebut disertai ilustrasi kartun yang selalu mengandung elemen visual kucing oren

Baca juga : Borneo: Asal Usul dan Maknanya

Ucapan selamat tahun baru 2024 yang diunggah di akun twitter Presiden Joko Widodo. (Source: https://twitter.com/jokowi)

Ilustrasi kartun dan elemen kucing ini yang menjadi inovasi teks populis Joko Widodo sebagai jalan keluar dari resistensi aktor-aktor politik formal dalam aliansinya. Dia menghimpun perhatian publik sebagai legitimasi pesona politiknya dengan menawarkan kenikmatan visual digital, terutama untuk generasi muda. Inovasi yang dihasilkan pun sesuai dengan karakter generasional anak muda sekarang yang dikenal sebagai digital natives.

Strategi politik visual melalui media sosial yang dilakukan Joko Widodo sejak 2022 ini selaras dengan saran yang disebut Ambrosino, A. et al. (2023) bahwa untuk memitigasi rendahnya partisipasi anak muda dalam proses politik diperlukan alternatif alat atau metode digital untuk merekognisi dan memvalidasi kehadiran anak muda secara politik. 

Visualisasi dalam bentuk gambar dan video memainkan peran vital untuk kelompok generasional ini karena platform ini membantu menyederhanakan dan mengkontekstualisasikan partisipasi dan isu-isu yang sedang didiskusikan. Kehadiran kucing oren dalam politik visual Jokowi dihasilkan dari proses pemantauan perbincangan publik di media sosial. Kucing menjadi salah satu hewan peliharaan populer anak muda Indonesia. Akun X @kochengfs menjadi salah satu akun popular yang memoderasi perbincangan anak muda Indonesia mengenai kucing di media sosial. Akun tersebut memiliki lebih dari 450 ribu pengikut.

Kucing oren menjadi elemen visual yang konsisten ada di ilustrasi kartun mantan Walikota Solo itu. Namun, kucing bukan menjadi satu-satunya elemen penting yang menunjukkan keterhubungan Joko Widodo dengan akan muda. Sosok atau figur, baik nyata maupun fiksi, yang populer di kalangan anak muda dikodifikasi dalam politik visual tersebut. Elemen-elemen visual tersebut  menerima impresi positif secara langsung, melalui fitur komentar atau dibicarakan di media sosial, sampai diberitakan oleh media massa. Kucing sebagai obrolan mengalami proses sirkuler dari kodifikasi secara politis oleh Joko Widodo, kemudian dikomodifikasi media massa, dan kembali membentuk impresi positif Joko Widodo.  

Inovasi politik visual melalui media sosial ini mengandung konfigurasi makna populisme yang sama dengan blusukan, yakni menegasikan keterwakilan sembari menyodorkan kelangsungan interaksi antara puncak eksekutif dengan individu berskala mikro. Elemen visual kucing bahkan berperan lebih karena merekognisi kehadiran generasi muda yang didengarkan perbincangannya oleh kepala negara.

Jokowi mereplikasi janji retorika digital yang menyodorkan faktor koneksi, akses, partisipasi, serta transparansi yang pernah dilakukan Barrack Obama, Donald Trump, dan Joe Biden dengan berbagai kehadiran mereka di media sosial dan digital, seperti yang diulas oleh Losh (2022). Digitalisasi politik yang berpotensi meningkatkan partisipasi politik anak muda telah dimanfaatkan untuk mempertahankan eksistensi secara populis seorang politisi yang berada di ujung kekuasaan. 

Ketegangan relasi dengan partai-partai pengusungnya dulu dan kontroversi revisi pasal Undang-Undang Pemilihan Umum  oleh Mahkamah Konstitusi yang memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden membuat Joko Widodo kehilangan beberapa infrastruktur mediasi lama. Media massa menjadi lebih kritis terhadap Joko Widodo. Terlebih, aliansi informal yang diperantarai Gibran dengan Prabowo Subianto membuat Joko Widodo menerima sentimen sama dengan Prabowo di masa silam, sebagai sosok yang mengancam demokrasi dan kebebasan pers.

Ironisnya, sentimen tersebut berkontribusi memenangkan Joko Widodo pada dua kali pemilihan presiden, dan di akhir masa kepresidenannya ini dia justru menerima sentimen tersebut. Pada konteks politik demikian, optimalisasi media sosial dan politik visual, seperti kucing oren ini, menjadi tulang punggung dalam menjaga impresi positif kepada Joko Widodo dengan memberi sisi kenikmatan konsumsi budaya populer dalam berpolitik. Buaian politainment yang mewarnai pemilu 2024 ini dapat dikatakan sudah terlebih dahulu dipraktikkan oleh Presiden Joko Widodo melalui akun media sosial.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya. Redaksi menerbitkan artikel ini untuk membuka ruang kebebasan berpendapat, diskusi, berpikir, dan dialektika.

Ubaidillah
Ubaidillah
Koordinator Tim Riset Keterlibatan Politik Digital Generasi Z, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Tengah menekuni kajian bahasa dan politik digital.
Bagikan
Berikan Komentar