Oleh :
Djoko Setijowarno
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat
Keberadaan Kereta Petani-Pedagang merupakan bentuk empati PT KAI kepada petani dan pedagang di pedesaan agar lebih mudah memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan. Kehadiran layanan ini diharapkan mampu meningkatkan perekonomian desa sekaligus menekan laju urbanisasi.
PT Kereta Api Indonesia berencana meluncurkan kereta khusus petani-pedagang dari pusat produksi menuju pusat niaga. Sebagai tahap awal, rute yang akan dilayani adalah Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, hingga Tanah Abang, Jakarta (Kompas, 16 Agustus 2025).
Mobilitas petani dan pedagang menggunakan kereta menuju pasar di Jakarta sebenarnya sudah berlangsung lama. Saat ini, sebagian masih bertahan dengan memanfaatkan KRL Jabodetabek dari wilayah barat serta KA lokal dari arah timur, seperti Karawang. Dahulu, bahkan ada yang berasal dari Bogor dan sekitarnya.
Dari arah barat Jakarta, mereka menggunakan KA Lokal Merak–Tanah Abang, sedangkan dari arah timur KA Lokal Purwakarta–Kota. Namun, sejak layanan KRL Jabodetabek diperpanjang hingga Stasiun Rangkasbitung, petani dan pedagang beralih ke KRL, meski ruang gerak mereka kini terbatas.
Menurut Ketua Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian MTI, Aditya Dwi Laksana, kereta petani-pedagang bukanlah hal baru di Indonesia. Pada masa Hindia Belanda hingga awal kemerdekaan, trem di Jakarta bahkan memiliki gerbong khusus pedagang, disebut pikoenlanwagen. KAI, saat masih bernama PJKA, juga pernah mengoperasikan KA pasar dan KA campuran penumpang-barang untuk memudahkan pedagang membawa dagangan (Kompas, 20 Agustus 2025).
Saat ini, sisa praktik tersebut masih bisa ditemukan di lintas Rangkasbitung–Tanah Abang. Dahulu, bahkan ternak seperti kambing dan ayam diangkut melalui jalur ini sebelum akhirnya dilarang. Lebih jauh ke belakang, sapi pun pernah diangkut dengan kereta khusus ternak, lengkap dengan gerbong dan peron khusus, misalnya di Stasiun Tuntang (Kabupaten Semarang). Kini, semua hewan diangkut menggunakan truk karena fasilitas gerbong ternak sudah tidak tersedia.
Di Tiongkok, meski memiliki jaringan kereta cepat, mereka tetap mempertahankan kereta lambat (slow train) yang singgah di setiap stasiun. Kereta ini menjadi tumpuan hidup petani dan pedagang karena murah dan menghubungkan desa dengan kota. Model inilah yang patut dicontoh Indonesia.
Permintaan Tinggi
Permintaan petani dan pedagang di Banten untuk menjual hasil bumi dengan kereta cukup tinggi. Sementara itu, jumlah penumpang KRL Commuter Line dari Rangkasbitung ke Tanah Abang juga terus meningkat. Karena itu, dibutuhkan kereta khusus yang terpisah dari penumpang reguler.
Para petani dan pedagang biasanya berangkat sejak pukul 04.00 WIB dari Stasiun Rangkasbitung, lalu berhenti di stasiun-stasiun seperti Citeras, Maja, dan Tenjo. Barang dagangan yang dibawa antara lain pisang, ketela, cabai, jagung, petai, jengkol, sayuran, nasi uduk, hingga jajanan tradisional. Semua disiapkan di peron sejak dini hari agar bisa dimuat dalam waktu dua menit saat kereta datang.
Banyak yang sudah mengandalkan kereta selama lebih dari 20 tahun. Namun, karena desa mereka jauh dari stasiun, sebagian memilih menginap di stasiun sejak tengah malam agar tidak ketinggalan kereta pertama—satu-satunya yang boleh mengangkut barang dagangan.
Setibanya di Jakarta, ada yang berjalan kaki menuju pasar terdekat, ada pula yang melanjutkan dengan bajaj. Aktivitas ini libur setiap Senin karena KRL diprioritaskan bagi penumpang reguler. Puncak aktivitas justru terjadi Selasa hingga Kamis.
Omzet pedagang berkisar Rp250 ribu–Rp800 ribu per hari, dengan pendapatan bersih minimal Rp100 ribu. Jika ada kereta khusus, kapasitas angkut bisa lebih besar, waktu berhenti bisa lebih lama, bahkan ternak seperti ayam dan kambing dapat kembali diangkut. Manfaat lainnya adalah peningkatan perekonomian desa sekaligus penekanan urbanisasi.
Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Untuk mewujudkan kereta khusus petani-pedagang, dibutuhkan kerja sama berbagai pihak. PT KAI perlu menyediakan kereta dan fasilitas pendukung, Ditjen Perkeretaapian bisa mengusulkan subsidi operasional melalui APBN, sedangkan Pemda Lebak dapat menyiapkan angkutan umum menuju stasiun (first mile) dengan insentif BBM.
Sebagai angkutan lanjutan (last mile), Pemprov DKI Jakarta dapat mengaktifkan kembali bus pasar yang pernah ada hingga akhir 1980-an. KPAI juga dapat dilibatkan untuk memastikan aspek perlindungan anak dan perempuan.
Layanan ini pun bisa diperluas ke lintas lain yang dulunya memiliki KA lokal, seperti Purwakarta–Kota, Wonogiri–Purwosari, Rancaekek–Bandung, hingga Sukabumi–Kota. Tidak harus kereta khusus, tetapi bisa digandengkan dengan KA penumpang di lintasan non-listrik.
Selain itu, fasilitas sederhana seperti ruang istirahat terlindung bagi petani dan pedagang yang menginap di stasiun sangat dibutuhkan. Semua itu akan memudahkan distribusi hasil bumi sekaligus meningkatkan perputaran ekonomi desa-kota.
Keberadaan kereta khusus petani-pedagang, ditopang angkutan umum terintegrasi, akan memberi manfaat nyata: memudahkan mobilisasi, meningkatkan kesejahteraan, dan mengurangi urbanisasi.