Di balik kecemasan dan tindakan yang menular bisa jadi ada kebenaran. Ia menjalar begitu saja karena memantik nurani yang gelisah: Ada ketidakberesan yang mengganggu pikiran dan kehidupan kolektif sehingga sesuatu turut dilakukan banyak orang.
Mungkin pula ada kebenaran di balik berkibarnya bendera hitam jolly roger bertopi jerami. Ia berkibar di atap rumah, di tiang bendera, di pantat truk, hingga digambar di beberapa tempat menjelang perayaan kemerdekaan RI ke-80.
Ia menyebar seperti kemarahan terhadap sesuatu yang tak beres dan dirasakan banyak orang. Merayakan kemarahan dengan gembira bersama-sama. Netizen juga ramai-ramai mengunggah foto dan video bendera tersebut ke media sosial, seperti Instagram, X, TikTok, hingga Facebook.
Tak sedikit pula yang mengganti foto profil mereka dengan lambang bendera “Bajak Laut Topi Jerami” milik Monkey D. Luffy dan kawan-kawannya dalam serial anime One Piece itu.
Di mana kebenaran yang mungkin itu?
One Piece adalah kisah petualangan grup bajak laut mencari harta karun legendaris. Dalam perjalanannya, tokoh Monkey D. Luffy dan tim berjuang melawan sistem yang dikendalikan Pemerintah Dunia, lembaga fiktif yang digambarkan korup, represif, dan manipulatif.
Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya ekspresi fandom. Namun, bagi masyarakat yang gelisah, bisa jadi narasi fiksi One Piece begitu dekat. Ada relasi antara realita dan kisah yang “hanya fiktif belaka”.
Realitas fiksi yang dihadapi kru topi jerami akhirnya menjelma tindakan simbolik yang menjalar begitu saja di kehidupan nyata. Dalam konteks ini, mengibarkan bendera One Piece bisa dimaknai sebagai simbol untuk mengkritik kinerja pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Lebih jauh lagi, ekspresi tersebut merupakan perlawanan terhadap kekuasaan yang korup. Ia adalah ekspresi kerinduan terhadap kebebasan dari tirani dan aksi solidaritas di tengah penindasan.
Dalam laporan Kompas (4/8/2025), fenomena ini dipandang sebagai ekspresi simbolik pembangkangan terhadap ketidakadilan struktural yang masih dirasakan mayoritas warga, bahkan delapan dekade setelah kemerdekaan. Dalam konteks ini, One Piece tak lagi sekadar fiksi sebagai penghibur, melainkan refleksi terhadap ketimpangan struktural yang nyata: eksploitasi, korupsi, dan penindasan rakyat kecil.
Pemerintah yang berlebihan
Seperti biasa, Pemerintah bersikap reaktif terhadap fenomena tersebut. Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menyatakan bahwa negara berhak secara tegas melarang pengibaran bendera tersebut karena dianggap melanggar hukum dan dapat dikategorikan sebagai bentuk makar.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, menyebut pemerintah akan ambil tindakan hukum secara tegas dan terukur apabila terdapat unsur kesengajaan.
Sikap pemerintah tersebut patut dikritik. Pasalnya, tidak ada satu pun undang-undang yang secara eksplisit melarang warga negara mengibarkan bendera bajak laut dari serial One Piece.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara mengatur larangan merusak bendera merah putih. Tapi aturan itu tak melarang mengibarkan bendera lain. Yang penting, bendera merah putih tetap berada di tiang tertinggi.
Ancaman pasal makar yang dilontarkan Menteri HAM sama sekali tidak dapat digunakan. Pasal makar dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) merujuk tindak pidana yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah atau merongrong kedaulatan negara.
Tak ada bukti pengibaran bendera One Piece sebagai tindakan makar atau pelanggaran hukum lain. Pengibaran bendera One Piece hanyalah bentuk kritik dan kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
Alih-alih melarang tanpa dasar, pemerintah semestinya mencari kebenaran di balik fenomena ini. Seperti luka, keresahan dan kegelisahan kolektif semestinya dicari sebabnya, disembuhkan, dirawat, dan dipelajari agar berangsur-angsur membaik.
Ekspresi semacam ini semestinya dilindungi agar rasa gelisah bisa menemukan jawaban dan penyelesaian. Di samping itu, bukankah kebebasan berekspresi warga negara dijamin oleh konstitusi, sebagaimana halnya kebebasan dalam berkesenian, berpendapat, dan menyampaikan pandangan melalui simbol-simbol budaya?
Respon represif hanya memperkuat kegelisahan kolektif: Pemerintah layaknya jelmaan Pemerintah Dunia dalam jagat One Piece yang tiran dan takut kebenaran.
Hal demikian semakin memperkuat kerinduan masyarakat terhadap sosok kru bajak laut Topi Jerami. Bahkan mungkin membentuk sendiri kelompoknya untuk membebaskan diri dari penindasan.
Baca esai lainnya di sini.