Merdi Sihombing telah menjalani studi di Institut Kesenian Jakarta, belajar mode di Bunka, hingga ke ESMOD. Dengan latar belakang pendidikan itu, ia punya hasrat untuk menafsirkan kembali tekstil tradisional dan pewarna alami dalam mode kontemporer. Terinspirasi oleh budaya dan darah Batak yang mengalir di tubuhnya, ia mengeksplorasi keahlian tradisional dalam desain modern.
Karyanya bisa dibilang turut merayakan warisan budaya Batak yang kaya sambil merangkul inovasi dan mendorong batas kreativitas. The Flying Cloth adalah puncak perjalanan 25 tahun Merdi Sihombing berkarya di industri mode dan tekstil Indonesia sebagai desainer. Dalam pembukaan pergelaran ini, Sang Maestro berbagi cerita tentang wastra nusantara yang menjadi bagian dari identitas budaya Indonesia.
Merdi telah berkomitmen mengangkat keindahan dan kekayaan tradisi Indonesia ke panggung global. Ia tidak hanya konsisten meluncurkan koleksi, tapi juga memastikan keberlanjutan melalui proses pembuatan material, pewarnaan alami, hingga teknik tenun tradisional.
Pada peragaan pembuka, Senin (11/11/2024), Merdi menghadirkan dua kategori koleksi istimewa: busana glow in the dark dan busana tradisional seperti kebaya. Koleksi glow in the dark menjadi simbol inovasi ramah lingkungan, membuktikan fashion dapat menghemat daya listrik di runway. Di sisi lain, Merdi juga bertekad menghormati para pengrajin lokal yang karyanya kerap terabaikan.
“Runway identik dengan lampu-lampu, yang sudah pasti memakan banyak listrik. Dan koleksi glow in the dark yang dipakai para penari ini, bisa membuktikan bahwa pagelaran fashion itu bisa menghemat banyak listrik. Karena saat koleksi ini muncul di runway, semua lampu mati. Hanya motif-motif di bajunya yang menyala,” ujar Merdi lagi.
Tepuk tangan riuh menggema menyambut koleksinya di Area Sunken, Museum Nasional. ‘The Flying Cloth’ akan digelar di area tersebut sampai 24 November 2024. Setiap hari tersaji keindahan wastra Indonesia dari sudut pandang seorang Merdi Sihombing. Mulai dari workshop, seminar, hingga instalasi.
Merdi mengatakan, orang-orang di balik penciptaan busana glow in the dark adalah seniman-seniman berbakat Indonesia, yang sering menjadi korban beli putus. Mereka menjual, tetapi tidak pernah tahu karyanya itu dibuat menjadi apa.
“Saya, punya misi untuk tidak lagi menyembunyikan pengrajin yang ada di belakang karya-karya ini. Saya mau menunjukkan kepada mereka, ini lho, hasil karyamu,” tuturnya.
Di beberapa bagian pameran The Flying Cloth, Merdi memang menghadirkan sejumlah pembatik yang karyanya ia tampilkan dalam acara pembukaan tersebut.
Ada lima pilar besar yang dirangkum oleh Merdi untuk pergelaran 25 tahun perjalanan ini, yaitu Sustainable Design & Eco-Fashion, Seni Kolaboratif & Pelibatan Masyarakat, Revitalisasi & Reinventing Ulos, Etnomatika & Vernacular Design, serta Perempuan Indonesia.
Kelima pilar besar ini, diwujudkan dalam sebuah koleksi bertajuk “Perjalanan Kain Batak” yang berisi 15 looks, lengkap dengan identitas yang erat sekali dengan budaya Batak. Mulai dari model baju kurung, kain songket dan tentu saja selendang khas Batak, ulos.
Warna-warna yang dipilih untuk setiap looks dari koleksi ini dekat dengat adat masyarakat Batak, seperti merah, kuning, hijau, biru, putih gading dan oranye. Merdi ingin mengajak pengunjung melihat lebih dekat keindahan wastra nusantara, kerajinan-kerajinan, dan nilai-nilai yang mengikutinya.
“Ini lebih dari sekadar tekstil. Ini adalah bagian dari identitas kita. Dengan menggunakan pewarna alami, teknik tenun yang diwariskan turun temurun, serta inovasi dalam desain dan pola, saya yakin, kita bisa membuktikan bahwa fashion dapat berjalan seiring dengan alam,” katanya lagi.
Ide dari Tanah Karo
Merdi juga menyadari bahwa industri kain tenun di Indonesia perlahan-lahan mulai tidak mendapat perhatian. Oleh karena itu, beberapa kain, kata Merdi, dasar idenya ia angkat dari Tanah Karo. Sebab, ia melihat penenun di Karo sudah punah.
Merdi ingin melestarikan kebudayaan tenun Karo dengan mengangkat ide dasarnya. Ia mengambil teknik celup dari proses pembuatan kain yang ditampilkan.
“Kalau dulu, semua kain ditenun sampai jadi, setelah itu diproses dengan teknik celup untuk pewarnaannya. Tapi karena penenun di sana sudah tidak ada, maka kain yang digunakan adalah kain jadi, namun untuk teknik pewarnaannya menggunakan teknik celup yang sama, seperti yang ada di dalam tradisi budaya Batak Karo,” ujar Merdi.
Ia tak menampik bahwa banyak orang yang meragukan pewarnaan alami karena dianggap pucat dan tidak cerah. “Tapi Anda lihat semua karya-karya saya. Warna-warnanya bisa cerah dan itu semua diwarnai secara alami. Alam kita luar biasa hebatnya. Jadi saya berharap industri ini juga mulai menyadari dan bisa mengeksplorasi agar industri fashion Indonesia bisa sustainable seluruhnya,” ujar Merdi.
***
Baca juga: