Catatan: Liputan ini merupakan tulisan kedua dari rangkaian liputan tak terpisahkan. Baca tulisan pertama di sini: Bingung Jalan Warga Pantai Lango.
***
HINGGA kini belum ada kejelasan diterima warga, apakah ada jalan alternatif disiapkan pemerintah usai satu-satunya akses jalan darat mereka masuk areal landasan pacu Bandara VVIP IKN. Kendati belum ada kejelasan, namun Pemkab Penajam Paser Utara (PPU) mengklaim ada jalan alternatif disiapkan. Mereka menyebut, pemerintah tak sekoyong-koyong menutup satu-satunya akses jalan warga, apalagi sampai membiarkan mereka terisolasi.
Makmur Marbun, yang sebelumnya menjabat Pj Bupati Penajam Paser Utara (PPU) menggaransi, pemerintah tidak akan menutup akses jalan warga. Yang ada, kata dia, pemerintah tengah membuatkan jalan baru. Diklaim lebih bagus, pun lebih luas, sekitar 8 meter.
‘’Sudah ada dan sudah dikerjakan. Tidak ada pemutusan jalan,’’ kata Makmur Marbun ketika ditemui di sela aktivitasnya di Penajam, 13 September 2024 lalu. ‘’Jalurnya sudah dibuat, saya jaminannya. Saya dituntut kalau tidak.’’
Lantaran pemerintah menjamin tak akan memutus satu-satunya akses jalan darat di Pantai Lango, Makmur Marbun meminta warga tak perlu khawatir bakal terisolasi. Menurutnya tidak mungkin pemerintah membiarkan warganya terisolasi. Pun hingga kini, pemerintah juga tak berencana merelokasi warga di Pantai Lango kendati posisinya bersisian langsung dengan Bandara VVIP IKN.
‘’Sampai hari ini tidak ada (rencana relokasi),’’ sebutnya sebelum buru-buru mengakhiri wawancara.
Sementara itu, Deputi Otorita IKN Bidang Sosial, Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat, Alimuddin mengatakan, kendati pesisir Pantai Lango yang didiami ribuan warga bersisian langsung dengan lokasi pembangunan Bandara VVIP IKN, namun menurutnya kawasan itu bukan kewenangan Otorita. Kawasan itu masih kewenangan pemerintah setempat, dalam hal ini Pemkab PPU.
Kendati disebut bukan wilayah Otorita, tapi pesisir Pantai Lango tetap harus mendapat perhatian. Pemerintah, klaimnya, tak mungkin tak memperhatikan kawasan dan warga yang bermukim di sana. Sebab, menurut mantan Kadis Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga PPU itu, tugas pemerintah, baik Otorita atau Pemda, wajib memberikan pelayanan terbaik pada warga.
Ia menyatakan tidak mungkin ada proyek pemerintah yang menyengsarakan masyarakat, seperti menutup jalan. Dia pun mengklaim bahwa seluruh proyek yang dikerjakan pemerintah justru membawa kesejahteraan, pemenuhan sarana dan prasarana bagi masyarakat, termasuk pembangunan Bandara VVIP IKN. Proyek ini dinilai bakal membuka berbagai ‘’akses lain’’ dengan lebih baik.
‘’Tidak mungkin proyek pemerintah menutup jalan. Jadi jangan berpikir yang terlalu aneh-aneh gitu,” kata Alimuddin ketika dikonfirmasi, awal Oktober 2024.
Dia menambahkan, ‘’Jangan khawatir berlebihan terkait isu tidak jelas. Ketika ada informasi-informasi tidak jelas, tanya ke pemerintah. Jangan tanya pada yang tidak jelas. Kita tahu banyak orang yang mengait-ngaitkan pembangunan IKN dibilang akan meciderai masyarakat. Itu terbalik. Justru, dengan IKN itu, kita yakini semua akan memberi kesejahteraan. Baik bagi masyarakat di IKN maupun wilayah-wilayah sekitarnya.’’
Terkait isu yang menyebut warga di pesisir Pantai Lango bakal direlokasi, Alimuddin tak bisa berkomentar. Sekali lagi dia menegaskan, kawasan itu bukan wilayah Otorita IKN. Namun menurutnya, kalau pun rencana itu ada, pemerintah pasti memikirkannya secara matang. Tidak asal mengambil kebijakan atau tak dipirkan baik-baik. Misalnya, memikirkan lokasi yang tepat bagi warga. Memikirkan pemenuhan sarana dan prasaran di kawasan baru. Dan tak kalah penting, memikirkan pemenuhan ekonomi warga.
Ketika pemerintah memikirkan opsi memindahkan warga ke lokasi baru, kata Alimuddin, pemerintah pun memikirkan seluruh fasilitas di tempat tinggal baru mereka, hingga pemenuhan ekonomi warga. Alimuddin menyebut itu tak tepat disebut relokasi tapi resettlement atau permukiman kembali.
‘’Tidak ada istilah relokasi. Kalau pun ada (pemindahan warga), itu permukiman kembali atau resettlement. Kalau resettlement, berarti ada kewajiban untuk membangun permukiman, fasilitas sosial dan lain-lain termasuk bagaimana memikirkan kelanjuran ekonomi warga yang dipindahan,’’ tandasnya.
Sementara itu, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra Sekretariat Kabupaten (Setkab) PPU, Nicko Herlambang mengatakan, pada prinsipnya pengalihan jalan itu bakal paralel dengan proses penyelesaian lahan. Persoalan lahan hampir rampung, jalan alternatif yang disiapkan itu pun dalam proses pengecoran.
“Target dalam satu bulan ini semua kelar. Kami dari Pemda sudah minta, jalan [alternatif] selesaikan dulu, baru dilakukan pemotongan jalan yang eksisting [yang masuk area bandara],” kata Nicko ketika dikonfirmasi, Sabtu (26/10/2024).
Saat liputan ini dibuat, proyek pembangunan Bandar VVIP IKN ini jadi kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kemenhub. Pemda tak punya kewenangan. Kendati begitu, Nicko meyakinkan bahwa Pemda PPU bersama dua kementerian itu telah sepakat merampungkan pembangunan jalan alternatif dahulu. Baru kemudian satu-satunya jalan darat yang masuk area bandara ditutup.
Dia pun menegaskan, warga sekitar tak perlu khawatir jalannya ditutup. Sebab, pemerintah tak mungkin sengaja menutup jalan, apalagi sampai membuat aktivitas warga Pantai Lango terganggu, klaimnya. “Intinya, terkait kepentingan masyarakat tetap kami jadikan prioritas,” sebutnya.
Dia menambahkan “Jalan itu, kan, jalan kabupaten yang akan diubah itu. Jalan baru nanti mengikuti sisi runway [bandara] VVIP. Jaraknya nggak terlalu jauh. Intinya jalan ini bisa digunakan masyarakat. Tidak menggagu aktivitas. Jalannya bagus, kok, sudah proses cor.”
Akademisi dan Aktivis Kompak Sebut Pemerintah Berpotensi Langgar HAM
Direktur Eksekutif Pokja Pesisir Balikpapan, Mappaselle mengatakan, jangankan melakukan, mempertimbangkan untuk merelokasi warga yang bermukim di pesisir Pantai Lango mestinya tidak dilakukan negara. Bila itu dilakukan, kata dia, terang saja negara melakukan penghancuran secara terbuka terhadap sumber ekonomi, identitas, kebudayaan, dan sejarah warga setempat.
Mappaselle menjelaskan, perkampungan pesisir di Pantai Lango merupakan satu-satunya saksi sejarah keberadaan permukiman di Teluk Balikpapan. Kampung itu bahkan sudah eksis jauh sebelum republik ini merdeka. Bukti akan sejarah panjang itu bisa dilihat dari berbagai situs sejarah yang dapat ditemukan di sana. Misalnya, makam Jepang, sumur tua, lokasi landasan helikopter (helipad), dan tempat pendaratan kapal amfibi.
“Ini menandakan perkampungan di Pantai Lango itu memiliki sejarah panjang,” kata Mappaselle ketika ditemui di Balikpapan, akhir September 2024.
Keberadaan permukiman di pesisir Pantai Lango menandakan bahwa warga sudah nyaman tinggal di sana. Warga nyaman lantaran kawasan itu dekat dengan sumber penghidupan mereka. Seperti diketahui, nyaris seluruh warga yang bermukim di pesisir Pantai Lango menggantungkan hidupnya dari pesisir laut Balikpapan.
Selain karib sebagai “perkampungan nelayan”, pesisir Pantai Lango juga dikenal sebagai sentra industri pembuatan kapal kayu. Nelayan Balikpapan, bahkan dari Sulawesi, banyak memanfaatkan jasa pembuatan kapal dari Pantai Lango. Ini tak mengherankan, sebab kapal kayu produksi pengrajin dari Pantai Lango secara kualitas dinilai baik. Baik dari sisi bahan baku, hingga teknik pembuatan kapal.
Tuanya usia perkampungan di pesisir Pantai Lango juga menghadirkan kebudayaan atau tradisi khas masyarakat setempat seperti Mandi Safar. Tradisi itu biasa dilakukan warga dengan menyambangi daerah pesisir, setelah sebelumnya melakukan doa dan makan-makan di rumah. Warga berbondong-bondong ke pesisir, mandi di laut bersama, dengan harapan membuang sial dan berahap mendapat peruntungan lebih baik di masa mendatang.
“Kalau sampai hilangkan kampung itu, banyak sejarah hilang, banyak budaya terkubur,” kata Mappaselle.
Dia menambahkan “Mestinya keberadaan budaya masyarakat itu penting diperhatikan dalam proses pembangunan IKN. Kalau IKN memenuhi janji awal bahwa tidak ada penggusuran masyarakat lokal, mestinya yang dilakukan itu memperkuat budaya lokal, kebudayaan itu diangkat.”
Sejatinya bukan hanya permukiman pesisir Pantai Lango terdampak pembangunan Bandara VVIP IKN. Jenebora dan Gersik pun terdampak. Namun, intensitasnya tak sebesar Pantai Lango, yang secara geografis memang dekat dengan bandara tersebut.
Mappaselle bilang, IKN yang mulanya digadang-gadang mengedepankan inklusifitas, kota bagi semua, ia bak harapan bagi semua, termasuk warga di pesisir Pantai Lango. Mulanya banyak berharap IKN membawa perbaikan pada perekoniam, kehidpan sosial, dan kebudayaan warga setempat. Namun dalam prosesnya, wajah yang dintunjukkan IKN justru kontradiktif dengan nilai-nilai itu. Keberadaanya justru mengancam keberadaan masyarakat setempat, mengancam sumber penghidupan dan kebudayaan warga.
“Kehadiran IKN harapannya memperkuat masyarakat setempat, bukan menyusahkan mereka. Kalau sampai jalan benar ditutup karena bandara, artinya negara melakukan pelanggaean HAM warga. Karena HAM kan salah satunya hak warga memperoleh penghidupan yang layak,” tegasnya.
Mappaselle pun menegaskan, bila kelak ada opsi relokasi, menurutnya itu tak tepat dilakukan. Sebab ini benar-benar akan menjauhkan warga dari sumber penghidupannya, sejarahnya, alamnya, hingga dari kebudayaan yang selama ini terbentuk. Bila ini dilakukan, kata dia, sama saja negara menjauhkan warga dari sumber kesejahteraan.
“Kalau ada rencana relokasi, ini tak tepat. Sebab warga uda menyatu dengan alam, tempat, dan budayanya,” tegas Mappaselle.
Dia menambahkan “Lalu apa yang ingin dicapai bila harus menggeser warga dari sebuah pembangunan kota, katanya ini kota untuk semua? Jadinya untuk siapa ketika ada masyarakat yang harus dipinggirkan?”
Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Mulawarman, Sri Murlianti menambahkan, Indonesia telah meratifikasi etika global tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Seharusnya, kata Sri, dalam pembangunan apapun yang bersinggungan dengan hak-hak dasar rakyat, juga harus mengikuti prosedur etik global. Yang pertama, ketika masih dalam perencanaan, studi kelayakan di dalamnya mestinya mencakup survei sosial ekonomi (Social baseline study), kajian dampak sosial dan kajian dampak lingkungan.
“Dari sini jika dilakukan dengan baik, seharusnya sejak awal sudah terdeteksi jika pembangunan bandara ini akan menabrak lokasi-lokasi vital masyarakat setempat,” kata Sri. Pun menurutnya, mestinya juga ada konsultasi mendalam yang mengedepankan prinsip-prinsip Free, Prior, Inform, Concern (FPIC), kepada masyarakat terdampak.
Bila mengacu pada prinsip FPIC itu, warga terdampak berhak didengarkan kepentingannya, berhak menyampaikan keluhan, persetujuan atau penolakan berdasarkan informasi-informasi yang akurat. Pemerintah dan atau pelaksana proyek, wajib meprioritaskan kepentingan warga terdampak dan harus tersedia mekanisme penanganan keluhan yang memadai untuk memastikan warga terdampak tidak dirugikan atau dikorbanakan dalam pembangunan.
“Konsultasi publik dengan masyarakat terdampak dilakukan untuk mediskusikan rencana pembangunan, dampak-dampak yang akan ditanggung dan mekanisme penanganan dampaknya,” sebut dosen Prodi Pembangunan Sosial ini. Dia pun menekankan dalam konsultasi publik wajib memperhatikan prinsip-prinsip keterbukaan informasi sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang akurat.
Ketika menggunakan haknya di dalam konsultasi publik, kata Sri, warga akhirnya sudah bisa berpikir, menimbang, berdasarkan informasi akurat terkait proyek yang bersinggungan dengan kepentingan mereka. Masih banyaknya kebingungan masyarakat, sebutnya, menandakan bahwa selama ini pembangunan yang berjalan mengabaikan prinsip-prinsip FPIC.
“Klaim pemerintah menyediakan jalan sementara warga masih kebingungan menunjukkan bahwa komunikasi macet antara pemerintah dengan warganya, pembangunan mengabaikan hak-hak partisipatif warga terdampak. Baik keputusannya akan direlokasi ataupun tidak, harus mengedepankan prinsip-prinsip FPIC,” urainya.
Sri pun merespons pernyataan Otorita IKN yang meminta warga “tidak usah khawatir berlebih terkait itu tidak jelas” di tengah minimnya informasi dan keterbukaan pemerintah dalam proses pembangunan IKN dan infrastruktur pendukungnya. Menurut Sri, apa yang dilontarkan Otorita melalui Alimuddin itu cuma kalimat beracun yang selama ini digunakan untuk membodohi warga terdampak. Mestinya itu ditinggalkan.
“Mau membangun Forest City yang diklaim menjunjung tinggi sustainable development, kok abai terhadap prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan etika global pembangunan dan tidak mengindahkan hak-hak rakyat setempat,” tegasnya.
Prinsip etika global, jelas Sri, mewajibkan setiap pembangunan yang bersinggungan dengan hak-hak dasar warga; wajib melaksanakan meaningful consultation di setiap tahapan pembangunan melibatkan pihak-pihak yang berhak, potensial terdampak dan juga yang kemungkinan memiliki kepentingan terhadap proyek pembangunan baik langsung maupun tidak langsung.
Konsultasi juga harus mengafiliasi kelompok-kelompok rentan, minoritas, masyarakat, etnis minoritas, dan kelompok-kelompok rentan lain yang kemungkinan akan sangat terdampak. Dalam kebijakan nasional pun sudah mengatur tentang hal ini.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pengembangan untuk Kepentingan Umum, juga menyebutkan tahapan konsultasi publik. Mesti dilakukan komunikasi dua arah untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak.
Dalam Pasal 33 PP itu disebutkan soal konsultasi ulang bila pihak yang terdampak keberatan atau menolak atas rencana lokasi pembangunan. Pasal 34 tim kajian keberatan), dan tahap pelaksanaan di Pasal 65. Kemudian pengumuman/pengungkapan informasi di Pasal 48 – 49, dan tahap pelaksanaan di Pasal 64 dan 66.
“Kalau semua regulasi ini dipatuhi, seharusnya pembangunan tidak menimbulkan keresahan apalagi kerugian pada warga terdampak,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur LBH Samarinda, Fathul Huda Wiyashadi, mengatakan fenomena yang terjadi di Pantai Lango, di mana warga kebingungan dan mempertanyakan masa depan mereka akibat pembangunan Bandara VVIP IKN, hanya menunjukkan bahwa pembangunan megaproyek IKN secara umum memang tidak punya perencanaan jelas. Pemerintah main asal bangun, tanpa menakar konsekuensi yang akan diterima warga akibat pembangunan itu.
“Nanti kalau ada masalah, baru dicarikan solusinya di akhir. Dampak sosial tidak diantisipasi. Ya, karena tidak ada perencanaan. Ini adalah bukti, khususnya Bandara VVIP IKN, tak punya perencanaan matang,” kata Fathul ketika ditemui di Balikpapan awal Oktober 2024.
Selain mengutuk pembangunan Bandara VVIP IKN yang dinilai tak punya perencanaan jelas, Fathul juga mengkritik pola pembangunan megaproyek itu. Misalnya, pembangunan dinilai tidak melibatkan partisipasi publik yang berarti. Sebelum memulai pembangunan, apapun itu, kata Fathul, mestinya pemerintah melakukan perencanaan matang, paparkan detail pembangunan, diskusi publik dan bertanya pada warga, khususnya di lingkar utama, apakah pembangunan itu dibutuhkan.
Mestinya pemerintah membeberkan sejak awal seluruh konsekuensi yang ditanggung warga bila pembangunan dilakukan, baik itu hal baik atau buruk. Semua itu mesti disampaikan di awal agar warga bisa menilai.
“Ini, kan, tidak ada informasi memadai, detail diterima warga. Akhirnya warga bingung, sementara pembangunan [Bandara VVIP] sudah jalan,” sebutnya.
“Target Desember, bahkan pesawat sudah ada pendaratan pesawat sebelum target. Sementara jalan penghubung atau penggantinya belum ada. Benar-benar tidak partisipatif, masyarakat dibiarkan bingung. Ini juga bukti tidak adanya transparansi dalam pembangunan.”
Selain itu, Fathul juga mengkritik sikap pemerintah, khususnya Otorita IKN, yang seperti menganggap remeh kekhawatiran warga pesisir Pantai Lango dengan bilang “jangan percaya isu tidak jelas.” Menurutnya, pemerintah terlalu mensimplifikasi kekhawatiran warga, padahal kekhawatiran itu beralasan.
Namun dia tak heran ketika pemerintah mensimplifikasi ketakutan warga itu. Sebab, inilah akibat pembangunan ibu kota dan seluruh fasilitasnya tapi tidak punya perencanaan yang jelas, kata dia. Akhirnya, ketika ada yang mempertanyakan akibat dari pembangunan di IKN, dalam konteks ini Bandara VVIP IKN, Otorita tidak punya jawaban jelas. Selalu normatif dan bersembunyi di balik kalimat “jangan percaya isu tidak jelas, dan sebagainya.”
Padahal, kata Fathul, ini bukanlah isu tak jelas. Yang dipertanyakan dan dikhawatirkan warga itu fakta. Warga punya satu-satunya jalan darat, namun jalan itu masuk bagian dari Bandara VVIP IKN, praktis membuat jalan itu bakal ditutup. Sementara hingga kini warga tidak punya alternatif jalan darat lain, di saat bandara pelan-pelan mulai beroperasi dan ditarget digunakan utuh pada Desember 2024.
“Ini fakta, bukan isu. Inilah akibat mereka kebiasan mensimplifikasi suatu masalah. Menganggap simpel, menormalisasi tindakan sewenang-wenang,” tegasnya.
Dia mengatakan pemerintah kebiasaan mensimplifikasi persoalan juga karena bukan mereka [elit] yang menanggung dampak buruknya, tapi warga setempat. Fathul tegas mengatakan pemerintah telah melanggar HAM warga akibat dari pembangunan ini. Padahal, pemerintah berkewajiban melindungi, menghormati, memenuhi dan menegakkan HAM sebagaimana termaktub dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999.
“Kalau tidak ada jalan, ini berkaitan dengan hak kesejahteraan mereka [warga]. Berkaitan dengan hak mereka yang hilang dan terdampak dari pembangunan. Ini efek dominonya akan banyak dan berkelindan bagi warga terdampak,” sebutnya. []
*Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Kalimantan Timur, terdiri dari jurnalis Kaltimtoday.co, Propublika.id, dan Inspirasa.co. Didukung Indonesian Corrupption Watch (ICW) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Samarinda.