• Sastra
  • Mengenang Ignas Kleden #6: Sampah yang Berputar di Luar Rahasia
Sastra

Mengenang Ignas Kleden #6: Sampah yang Berputar di Luar Rahasia

Seri polemik sastra bagian #6 (terakhir) antara Ignas Kleden dan Afrizal Malna di Harian Kompas pada 1997. Sumber tulisan ini dari kliping yang dilakukan kerabat kerja ProPublika.id.

Sastrawan Afrizal Malna dalam sebuah wawancara dengan Yayasan Lontar. (Foto: Tangkapan layar akun Youtube Yayasan Lontar)

Catatan redaksiIni merupakan kliping koran Kompas yang dilakukan oleh kerabat kerja ProPublika.id. Seri tulisan ini merupakan polemik sastra antara Ignas Kleden dan Afrizal Malna di Harian Kompas pada 1997. Tujuan utama penerbitan arsip ini untuk mengenang mendiang Ignas Kleden dan pemikirannya.

Esai Afrizal Malna ini merupakan tanggapan atas tulisan Ignas Kleden berjudul Wacana Tentang Wacana, Menilai Kembali Penilaian (Kompas, 7 September 1997). Dalam polemik ini, sedikitnya ada enam tulisan yang bisa dilihat di tautan ini.

***

Sampah yang Berputar di Luar Rahasia

Arsip Kompas Minggu, 19 Oktober 1997, Halaman 21

 

Oleh Afrizal Malna

 

IMAJINASI adalah penciptaan.
Penciptaan adalah kehendak.
Semua itu politik. Dan bisa.

 

Kutipan di atas saya ambil dari Kredo Kaum Perempuan (A Women’s Creed) yang dinyatakan dalam pertemuan jaringan Internasional Women’s Global Strategies, 1994. Pernyataan itu untuk saya merupakan pembebasan bahwa imajinasi tidak hanya milik seniman atau sastrawan, melainkan milik siapa pun, termasuk pembaca sastra. Pembaca tidak hanya menggunakan nalarnya, namun juga imajinasinya. Hal yang membuat seorang pembaca menjadi otentik dalam meresepsi karya sastra, dan kelak memberikan kontribusi tidak kecil untuk suatu permainan politik pemaknaan yang berlangsung dalam masyarakat.

Kontribusi sastra terhadap permainan politik pemaknaan itu memang sangat bergantung pada tradisi literer yang hidup dalam masyarakat. Apakah tradisi itu cenderung membungkam pembaca, seperti Chairil Anwar menyatakan “yang bukan penyair tidak ambil bagian”, atau terbuka di mana imajinasi, penciptaan dan kehendak juga dimiliki pembaca.

Kutipan itu juga saya gunakan sebagai toleransi saya terhadap wewenang teoritis yang telah dilakukan Ignas Kleden. Walaupun pembicaraan saya dengan Ignas Kleden sebenarnya telah selesai lewat tulisannya Wacana Tentang Wacana, Menilai Kembali Penilaian (Kompas, 7 September 1997), ketika akhirnya Ignas Kleden menganggap cara saya melihat persoalan dalam pembicaraan ini sebagai tidak masuk akal. Saya juga dianggap telah berlaku sebagai penguasa yang melarangnya melakukan penilaian, bersikap tertutup terhadap karya sendiri. Kesimpulan yang sangat di luar dugaan saya, di luar cara saya melihat independensi pembaca. Selama ini saya melakukan propaganda agar pembaca aktif merebut pemahaman sastra lewat kebebasan mereka meresepsi sastra. Melakukan semacam progresif semiotik. Hampir seluruh tulisan saya mempraktekkan hal ini, hingga banyak pihak yang menganggap saya telah mengeksploitasi teks mereka secara sewenang- wenang.

Tetapi kenapa manipulasi penyimpulan mengesankan bisa terjadi lewat kenyataan yang ditemui Ignas Kleden terhadap pembicaraan saya? Sebab, saya berkesan dalam pembicaraan kami, Ignas Kleden lebih memusatkan perhatiannya terhadap pernyataan-pernyataan saya, tanpa usaha melihat kembali apa yang telah dilakukannya dalam pembicaraannya terhadap cerpen-cerpen pilihan Kompas.

Bantahan saya terhadap Ignas Kleden sebenarnya tidak lebih sebagai konsekuensi literer dari pijakan dasar Ignas Kleden sendiri, yang berusaha membedakan teks sastra dengan yang bukan sastra dalam pembahasannya. Yaitu dengan menggunakan dialektika peristiwa dan makna. (Saya tak tahu kenapa Ignas tidak lebih lanjut juga menggunakan dialektika isi dan bentuk, kenyataan dan imajinasi, atau kata dan berita). Baiklah. Saya ingin melihat bagaimana Ignas Kleden membuktikan permainan teoritisnya ini.

Dengan pijakan Ignas Kleden seperti itu, dalam prasangka literer saya, ia akan melakukan suatu pembahasan yang mengejar sejauh mana cerpen-cerpen yang dibahasnya memberikan perspektif sastra atas dirinya sendiri. Dan bagaimana perspektif itu telah bergeser dengan perspektif sastra sebelumnya, atau mandeg. Sebutlah misalnya dengan sedikit membandingkan antara cerpen Seno Gumira Ajidarma dengan Idrus. Prasangka literer seperti ini saya kira tidak menyimpang dari minat Ignas Kleden dalam melihat apa itu karya sastra.

Namun yang dilakukan Ignas Kleden ternyata berada di luar prasangka literer saya. Ia justru melakukan penilaian. Yaitu ketika Ignas Kleden juga mulai menjalankan wewenangnya di mana pernyataan- pernyataan seperti “gagal”, “lemah” dan seterusnya mulai digunakan terhadap cerpen yang dibahasnya. (Lihatlah perbedaan antara pembahasan dan penilaian yang saya gunakan ini). Suatu penilaian yang saya kira tidak perlu dilakukan oleh seorang seperti Ignas Kleden, sebab penilaian seperti itu cenderung membeku. Mati. Menghentikan medan resepsi pembaca.

Setiap penilaian seperti itu cenderung menghentikan kemungkinan gerak yang sedang berlangsung dari bagaimana perspektif sastra tidak hanya berhenti pada peristiwa dan makna, tetapi juga pada bagaimana seorang penulis cerpen ikut memberikan emansipasi literernya terhadap kondisi-kondisi subyektifnya. Seorang penulis karya sastra yang baik, adalah mereka yang intens melakukan perhitungan kultural terhadap kondisi-kondisi sosial di sekitarnya, tradisi literer yang sedang dihadapinya, mitos serta ideologi yang hidup di sekitar masyarakatnya, termasuk terhadap reproduksi citra yang berlangsung dalam symbolic market (istilah yang juga digunakan Ignas Kleden dalam tulisannya) di sekitarnya.

Saya menolak penilaian Ignas Kleden bukan sebagai pernyataan pribadi saya, seakan-akan antipenilaian. Saya menolaknya justru berdasarkan prasangka literer saya yang memang logis muncul dari anggapan dasar Ignas Kleden sendiri dalam pembicaraannya terhadap cerpen-cerpen tersebut.

***

MUNCULNYA tulisan Nirwan Dewanto dan Budi Darma, saya harapkan bisa menyelamatkan saya dari kondisi pembelaan diri yang memalukan seperti ini, karena Ignas Kleden terus mendesak saya. Ignas Kleden memang berkesan tidak memberikan sedikit pun toleransi literer terhadap pembicaraan saya, yang dianggapnya ketinggalan 2000 tahun yang lalu dan dianggap tidak masuk akal.

Namun tulisan Nirwan Dewanto (Komunikasi atau Konfrontasi: Kompas, 14 September 1997; dan tulisan Budi Darma, (Kembali ke Solilokui: Kompas, 21 September 1997) ternyata lebih sebagai pernyataan yang datang dari semacam “regim tengah”. Regim tengah yang tidak sungguh-sungguh menempatkan dirinya di tengah namun di “atas tengah”. Regim tengah yang menolak tangan dan kaki mereka ikut kotor. Padahal jalan tengah adalah jalan yang seharusnya lebih berani menempuh banyak kotoran dan sampah yang harus dihadapi. Bahkan Budi Darma, seperti seorang jumawa, bergeming menghadapi kritik Ignas Kleden terhadap cerpennya, sambil mengutip sajak Robert Frost (The Secret Sits): Kita hanya berputar-putar, sementara rahasia yang sesungguhnya ternyata duduk di tengah dan tahu bahwa kita hanyalah berputar-putar mencari rahasia.

Budi Darma menempatkan penafsiran pembaca, pengarang, dan kritikus terhadap karya sastra sebagai sama-sama benarnya dan syah. Korespondensi antara ketiganya seakan tak penting lagi. Pernyataan yang antidialog, membiarkan medan literer sebagai sesuatu yang mustahil untuk mencari kehidupan komunikasi kita bersama. Dan sementara itu ia menempatkan sastrawan sebagai makhluk yang telah berada dalam alam esensi. Ia mengafirmasi komunikasi sebagai dunia yang pecah, dan berada di bawah kehidupan sastra yang lebih esensial. Kalau begitu teks sastra bukan lagi bagian dari kehidupan literer kita. Ini semua adalah kekenesan mitologis yang tidak perlu lagi direproduksi untuk masa kini, masa di mana menurut Nirwan Dewanto dipenuhi oleh banyak sampah industri.

***

JALAN tengah yang diambil Nirwan Dewanto, yang dilakukannya sambil menyebarkan kecurigaan kepada banyak denyut kehidupan sastra, mengesankan jauh lebih realistis dibandingkan Budi Darma yang mistis. Namun Nirwan Dewanto juga melakukan semacam kekerasan kategoris dengan membagi komunikasi dan konfrontasi sebagai dua hal terpisah. Setiap penulis karya sastra seakan-akan sadar untuk memisahkan kedua hal ini dalam praktek sastra yang dilakukannya. Sekaligus Nirwan Dewanto memperlihatkan dirinya sebagai seorang strukturalis yang bersih dan terang dengan melegitimasi penggunaan “penulis-penulis gelap”. Ia seperti bertekad untuk menghalau dunia gelap dalam kesusastraan, kemudian melegitimasi sebuah istilah lain terhadap penulis sebagai “pengrajin”.

Nirwan Dewanto seperti seorang realis yang berusaha jujur menyelamatkan realisme dari keputus-asaan yang melelahkan, ketika realisme masih nekat menjelaskan dirinya lewat bagaimana kenyataan diolah kembali dalam karya sastra. Lalu menghukum para penulis gelap sebagai sama sekali tidak punya perhatian terhadap kenyataan dan komunikasi. Dianggap sebagai hero-hero murahan yang masih percaya dengan konfrontasi dengan melawan realitas keawaman pembaca. Bagaimanakah mengukur tingkat keawaman pembaca? Apakah tulisan Nirwan Dewanto itu datang mewakili keawaman pembaca? Dan apakah pengrajin tidak sama murahannya?

Penulis-penulis gelap (istilah yang saya kira sangat rasialis) bagi Nirwan Dewanto hanya menghasilkan sampah, manakala ia gagal menyeimbangkan antara tema yang ditulisnya dengan gagasan naratif yang digunakannya. Suatu pernyataan yang juga datang dari rezim tengah yang menempatkan dirinya di atas tengah. Padahal setiap karya kini cenderung dengan cepat berubah menjadi sampah. Tradisi literer yang lemah dalam masyarakat kita, serta industri yang terus-terusan melakukan reproduksi produk dan citra, merupakan sebuah transportasi ekspres yang bisa dengan cepat mengunyah apa pun menjadi sampah.

Dengan menggunakan diri saya sendiri sebagai contoh, justru realitas seperti itulah yang sedang saya hadapi kini. Saya mengambil kaleng Coca Cola, Ibrahim, atau mitos mengenai Pandhora dalam puisi- puisi saya dengan sikap semiotik yang sama: tidak menempatkan mitos Pandhora jauh lebih memiliki muatan makna daripada kaleng Coca Cola, atau Ibrahim lebih suci dari plastik. Sampah industri seperti kaleng atau plastik, bagi saya adalah sebuah representasi nyata bahwa kita tidak sedang berada dalam tradisi literer yang agung, tidak sebagaimana Nirwan Dewanto memuja-muja Amir Hamzah.

Lingkungan Amir Hamzah adalah lingkungan istana, lingkungan orang-orang terdidik, lingkungan yang sangat sadar terhadap hal-hal yang bersifat agung. Bukan lingkungan anak jalanan. Istana membutuhkan sastra untuk membuat kekuasaannya menjadi indah dan agung. Sementara lingkungan kini adalah lingkungan di mana kita hidup dalam sampah industri. Orang mengejar kemewahan sebagai kompensasi dari kenyataan kerasnya tekanan eksterior yang memaksa orang untuk hidup di jalan-jalan terbuka, kehilangan makna rumah dan kehilangan kemegahan istana. Dalam sampah seperti ini seorang pengarang berkutat untuk ikut mencemooh kepercayaan terhadap hidup yang bermakna, atau sebaliknya bersikap romantik untuk tetap berkutat mencari makna.

Kedua-duanya bagi saya adalah sebuah proses kualitatif, bahwa kebudayaan sampah merupakan transisi yang belum bisa diatasi oleh industri dalam memecahkan risiko-risiko ekonomi yang datang dari kebutuhan kita sendiri. Langkah kuantitatif memang telah ada, yaitu dengan mendaur ulang sampah-sampah itu. Sampah yang memang sedang berputar-putar di luar rahasia.

Kecenderungan transendensi manusia terhadap misteri, suatu ketika akan bersentuhan juga dengan gelombang politik pemaknaan lain. Yaitu ketika sampah yang terdapat dalam tong sampah kita sendiri, ternyata juga signifikan untuk menelanjangi sikap kita sebenarnya? Apa saja yang telah kita makan dan kita pakai, ternyatakan kembali lewat sampah.

Imajinasi, penciptaan dan kehendak akan melihat semua ini sebagai politik. Dan bisa. Seperti kredo perempuan di atas. Dan kini kembali lagi bergantung pada tradisi literer yang hidup dalam masyarakat. Mengubah tradisi literer pembaca yang membeku, bagi saya jauh lebih prioritatif daripada melegitimasi keawaman pembaca.

Begitulah saya melayani pembicaraan ini, sejauh kita mau melakukan komunikasi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kondisi literer kita sendiri. Sebuah kondisi yang menurut saya setiap posisi kreatif maupun teoritik harus keluar dari posisinya masing-masing dan melakukan pertemuan. Toleransi literer dibutuhkan untuk mengatasi kondisi literer yang cenderung mempertahankan status quo. Sebab kehidupan sastra kita kini cenderung didistribusi dengan kian banyaknya lahir organisasi, dan sementara itu studi perbandingan kian dihindari. Kepemimpinan literer kita menjadi kepemimpinan yang tertutup, yang akhirnya justru merepresentasi kehidupan politik kita juga.

*) Afrizal Malna, pekerja seni.

 

Catatan Redaksi Kompas:

Dengan dimuatnya tulisan ini, polemik yang dimulai dengan tulisan “Simbolisme Cerita Pendek” untuk sementara kami hentikan dulu.

Propublika.id
Propublika.id
Portal berita dan cerita rintisan yang didirikan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2022. Sesuai namanya, kami berupaya menyajikan informasi relevan bagi publik. Selengkapnya lihat laman Tentang Kami.
Bagikan
Berikan Komentar