• Sastra
  • Mengenang Ignas Kleden #5: “Wacana tentang Wacana, Menilai Kembali Penilaian”
Sastra

Mengenang Ignas Kleden #5: “Wacana tentang Wacana, Menilai Kembali Penilaian”

Seri polemik sastra bagian #5 antara Ignas Kleden dan Afrizal Malna di Harian Kompas pada 1997. Sumber tulisan ini dari kliping yang dilakukan kerabat kerja ProPublika.id.

Sosiolog Ignas Kleden. (Foto tangkapan layar dari akun Youtube Kosakata Bersama Ichan Loulembah)

Catatan redaksiIni merupakan kliping koran Kompas yang dilakukan oleh kerabat kerja ProPublika.id. Seri tulisan ini merupakan polemik sastra antara Ignas Kleden dan Afrizal Malna di Harian Kompas pada 1997. Tujuan utama terbitan ini adalah untuk mengenang mendiang Ignas Kleden dan pemikirannya.

Esai Ignas Kleden ini merupakan tanggapan atas tulisan Afrizal Malna berjudul Menara Epistemologi Tanpa Telinga di Kompas Minggu, 31 Agustus 1997 pada halaman 21. Dalam polemik ini, sedikitnya ada enam tulisan yang bisa dilihat di tautan ini.

***

Wacana tentang Wacana,
Menilai Kembali Penilaian

Arsip Kompas Minggu, 07 September 1997, Halaman: 021

 

Oleh Ignas Kleden

 

ISTILAH “wacana” telah menjadi demikian populer saat ini di kalangan terpelajar dan penulis Indonesia, kira-kira sama seperti istilah “demokrasi” di kalangan politik. Seperti biasa, begitu istilah atau konsep itu menyebar luas, setiap orang yang memakai konsep tersebut cenderung merasa konsep itu telah dipergunakan dengan jelas, tanpa perlu menjelaskan apa yang dimaksudkannya.

Saya sendiri beranggapan menjadi populernya sebuah konsep atau istilah tidak dengan sendirinya berarti konsep tersebut telah jelas untuk semua pemakainya. Saya sendiri lebih suka memilih sikap berhati-hati: bila sebuah jenis kecap menjadi populer sebagai kecap nomor satu maka kita berwajib meninjaunya dengan kritis karena hal itu menyangkut kesehatan orang banyak.

Tulisan Afrizal Malna Menara Epistemologi Tanpa Telinga (Kompas, 31/8/97) adalah contoh soal yang baik tentang apakah memang konsep wacana telah digunakan dengan dukungan sebuah praktek wacana yang memadai. Pertanyaan yang diajukan dalam artikel itu adalah: bila sebuah wacana adalah sistem tertutup, bagaimana sebuah teori teks (sebagai suatu sistem wacana) dapat dipakai untuk menilai sebuah cerpen (sebagai sistem wacana lainnya)? Bukankah kedua wacana itu tertutup satu terhadap yang lainnya?

Saya akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan sebuah uraian, karena hanya dengan menyebut “terbuka” atau “tertutup” soalnya tidak akan pernah menjadi jelas, sekurang-kurangnya bagi Afrizal Malna. Bila seorang pengarang seperti Afrizal menuliskan sebuah cerpen atau sebuah sajak, saya tidak akan datang kepadanya dengan teori hermeneutik dan menganjurkan agar dia coba memperhatikan teori tersebut dalam menuliskan cerpen atau sajaknya. Mengapa? Hal itu tak banyak gunanya dan mungkin sekali merugikan. Bila dia menuliskan cerpennya atau sajaknya dengan setiap kali merujuk kepada teori hermeneutik, maka cerpen atau sajak yang dihasilkannya akan kehilangan unsur terpenting dalam sebuah karya kreatif yaitu spontanitas, orisinalitas dan otentisitas.

Dalam hal itu kedua wacana tersebut (yaitu penulisan cerpen/sajak dan teori hermeneutik) adalah dua sistem tertutup. Jadi dalam kedudukan wacana sebagai the field of cultural production (untuk memakai istilah Pierre Bourdieu) sebuah karya sastra akan mempunyai dinamikanya sendiri dengan aturan-aturan dan otonomi berbeda dari sistem produksi dalam teori ilmu-ilmu sastra misalnya. Bahkan sebagai suatu sistem produksi, puisi pun akan mempunyai aturan yang cukup berlainan dengan penulisan prosa. Untuk memakai istilah Afrizal, dalam penulisan sebuah cerpen setiap pengarangnya menganut dan menerapkan semacam “politik pemaknaan” tertentu, dan orang luar bukan saja tidak boleh, tetapi juga tidak berguna memaksakan suatu politik pemaknaan lain yang tidak dihayati pengarang bersangkutan.

Tetapi setelah proses produksi berlangsung apa yang terjadi? Yang muncul adalah sebuah produk: sebuah cerpen, sebuah sajak, sebuah novel. Setelah produk-produk itu diumumkan dalam sebuah media umum (buku, majalah, atau TV), maka, untuk mengikuti Bourdieu, produk tersebut sudah memasuki pasaran budaya, sudah memasuki symbolic market. Setiap konsumen yang berminat akan memeriksa apa yang hendak dibelinya, sama seperti bila dia akan membeli sepasang sepatu baru atau sepatu bekas. Dia harus melakukan penilaian, bila dia tidak mau menyesal di kemudian hari karena telah membeli sepatu yang solnya hanya direkat dengan lem kertas. Jadi bila wacana sebagai the field of cultural production adalah sistem tertutup (sekalipun dia terbuka terhadap pengaruh-pengaruh di sekitarnya) maka wacana sebagai pasar simbolik, sebagai cultural exchange adalah sesuatu yang terbuka, bahkan harus terbuka. Tanpa keterbukaan itu tukar-menukar kebudayaan terhenti, wacana dalam artian ini akan tamat riwayatnya, dan perkembangan kebudayaan akan berakhir.

***

AFRIZAL membedakan dua pengertian yang tidak dijelaskan perbedaannya: pembahas dan penilai. Bila saya menghadapi sebuah cerpen, apakah saya hanya boleh membahasnya dan tidak boleh menilainya? Ini merupakan sebuah pemikiran yang tidak jelas dasarnya dan absurd dalam konsekuensinya. Anggapan itu mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri karena melarang orang melakukan penilaian sudah merupakan suatu larangan dan penilaian tersendiri. Jadi sementara Afrizal melarang orang melakukan penilaian, dia sendiri sudah melakukan penilaian tersebut lebih dahulu dengan mengemukakan penilaian bahwa penilaian tak boleh dilakukan. Jadi Afrizal melarang apa yang dilakukannya atau menolak apa yang sedang dipraktekkannya. Proposisi bahwa suatu karya sastra tidak boleh dinilai bukanlah suatu proposisi mengenai kenyataan (suatu statement of fact) tetapi suatu pernyataan normatif, suatu penilaian, suatu value judgement.

Namun demikian, bukan saja anggapan tersebut tidak ada dasarnya tetapi juga mustahil dilakukan dalam praktek. Bagaimana saya bisa membahas sebuah cerpen bila saya tidak boleh menilai apakah cerpen tersebut bermakna atau omong kosong belaka? Apakah saya sebagai pembaca harus percaya begitu saja bahwa setiap cerpen yang disodorkan kepada saya pastilah mengandung suatu politik pemaknaan dan saya sebagai pembaca hanya diperbolehkan menemukan politik pemaknaan tersebut dan tidak boleh menilai apakah memang benar-benar ada politik pemaknaan seperti itu, dan kalaupun ada apakah hal itu diterapkan dengan berhasil? Bila saya tidak boleh menilai bukankah telah terjadi pemaksaan pemaknaan secara sempurna terhadap diri saya?

Saya menduga, keberatan Afrizal didasarkan pada semacam asumsi bahwa bila seorang pembaca melakukan penilaian, dia juga melakukan semacam pemaksaan pemaknaan terhadap sebuah karya. Pertanyaannya lalu: untuk apa sebuah karya sastra dihadirkan ke muka bumi? Apakah hanya untuk ditonton dan dikagumi? Ketakutan bahwa terjadi pemaksaan pemaknaan terhadap sebuah karya sastra tidak ada dasarnya, karena suatu penilaian akan diimbangi penilaian lain dalam suatu kontes dan kompetisi pemaknaan oleh pembaca lainnya. Karya itu dibuka kepada contest of meaning dan contest of interpretation yang akan mencegah monopoli pemaknaan, atau pemaksaan interpretasi. Hanya dengan cara itu sebuah karya sastra memberikan pengaruhnya pada dunia kebudayaan yang lebih luas.

Yang sangat mengherankan adalah penilaian seperti itu tidak diperbolehkan Afrizal kepada pembaca, tetapi diperbolehkan dengan leluasa untuk dirinya. Dengan leluasa dia menilai saya adalah seorang epistemolog yang “patuh” tanpa dia tahu bersikap patuh dan bersikap ketat dalam teori adalah dua hal yang bukan saja berbeda tetapi juga bertentangan. Seorang yang patuh kepada teorinya adalah seorang yang dogmatis. Seorang yang ketat dengan teorinya akan menghadapi teorinya dengan sangat kritis. Dia juga leluasa saja menilai cerpen Budi Darma mempunyai “identifikasi yang sangat jelas” atau penilaian saya tentang cerpen Bre Redana “justru mengesankan seakan-akan cerpen itu memang telah selesai hanya pada tingkat tertentu dari pembahasan Ignas”. Bukankah semua hal tersebut merupakan penilaian dalam artinya yang sempurna? Dari mana dia mendapat kesan uraian saya merupakan kata akhir dalam menilai cerpen tersebut? Uraian saya adalah sebuah penilaian berdasarkan kriteria tertentu, tetapi tidak ada hak kepada saya dan kepada siapa pun untuk tidak mengizinkan penilaian lain.

Di sinilah sekali lagi, dengan berat hati, saya ingin menunjukkan bahwa pengakuan secara verbal belum menunjukkan apa yang terjadi dalam praktek. Dengan mudah Afrizal mengatakan dia menerapkan oportunisme epistemologis secara positif. Apa gerangan yang positif dalam sikapnya untuk melarang penilaian yang dilakukan orang lain, tetapi leluasa membebaskan dirinya untuk melakukan penilaian terhadap karya orang lain? Yang betul-betul terjadi adalah dia bermain dengan dua perkataan yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama. Begitu dia melakukan penilaian, dia menyebutnya pembahasan, dan kalau orang lain melakukan penilaian, dia akan memprotes dan mengatakan hal tersebut tak boleh dilakukan (suatu strategi tautologi yang murahan). Ini dilakukan supaya penilaian hanya dibolehkan sejauh dia menilai karya orang lain, tetapi tidak dibolehkan bila orang lain mencoba menilai karya dia. Ataukah mungkin menilai dalam pengertian Afrizal berarti mengemukakan semua hal-hal yang baik-baik saja dan mendiamkan apa yang kita rasakan sebagai jelek? Bila ini yang terjadi maka inilah contoh praktek oportunisme epistemologis dalam artinya yang lengkap.

***

AFRIZAL juga menyesalkan saya telah keluar dari teori dan melakukan penilaian. Saya sulit memahami penyesalan tersebut, atau untuk memakai kata-kata Afrizal, sulit melihat logika penilaian tersebut. Sebuah teori selalu berupa teori tentang, teori mengenai, teori perihal. Teori astronomi adalah teori tentang bintang, planet dan galaksi, teori sosiologi adalah teori tentang struktur dan kelompok sosial, teori antropologi adalah teori tentang kebudayaan, dan teori teks adalah teori tentang teks.

Saya hanya bisa menjalankan teori bila saya menerapkannya pada bidang yang menjadi sasarannya. Bila saya hanya berkhotbah tentang teori teks tanpa pernah menerapkannya, teori itu tidak pernah fungsional, tidak pernah operasional, tidak pernah didayagunakan, dan tidak berguna.

Teori bukanlah ornamentik, semacam anting-anting atau dasi kupu-kupu yang bisa dipakai untuk menghiasi tulisan atau omongan. Teori adalah kerangka berpikir, semacam alat untuk bekerja secara konseptual. Dan saya hanya bisa bekerja bila dua syarat terpenuhi. Pertama, bila ada peralatannya yaitu teori, dan kedua, kalau ada bahan yang dikerjakan yaitu teks cerpen Afrizal. Jadi penerapan teori akan mengharuskan seorang keluar dengan peralatannya untuk melihat apakah bahan yang dihadapinya dapat dikerjakan dengan peralatan yang ada. Bila hal itu terjadi sama sekali bukan terjadi suatu tabrakan wacana, tetapi yang terjadi adalah suatu kerja intelektual dalam arti paling sederhana, suatu wacana.

Bila penerapan sebuah teori selalu dianggap pemaksaan makna, maka seluruh ilmu pengetahuan akan terhenti, karena teori antropologi akan dianggap pemaksaan terhadap kebudayaan, teori sosiologi dianggap pemaksaan terhadap masyarakat, teori teologi, lebih parah lagi, karena dianggap pemaksaan terhadap kebenaran agama, atau teori psikologi dianggap pemaksaan terhadap psikhe manusia. Risiko pemaksaan sebetulnya tidak terletak pada penerapan sebuah teori, tetapi pada tidak diterapkannya sebuah atau beberapa teori tandingan. Dengan demikian risiko pemaksaan makna oleh seorang pembaca seperti saya bisa muncul bukan karena saya menerapkan sebuah teori teks, tetapi bila pembaca lain tidak memberikan penilaian mereka yang mungkin saja lebih baik dari penilaian saya.

Dalam arti itu saya menghargai usaha Afrizal memberikan tafsiran tandingan terhadap cerpen Bre Redana dan cerpen Budi Darma. Saya sangat bersedia berdiskusi mengenai materi ini pada kesempatan lain, karena menurut saya perbedaan tafsiran ini adalah hal yang sehat, tetapi dalam konteks polemik ini kurang mendesak dibandingkan dengan prinsip-prinsip kritik sastra yang dianut Afrizal, yang hampir tak masuk akal.***

 

*) Ignas Kleden, sosiolog.

Propublika.id
Propublika.id
Portal berita dan cerita rintisan yang didirikan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2022. Sesuai namanya, kami berupaya menyajikan informasi dan kisah warga yang suaranya jarang mendapat tempat di media massa. Selengkapnya lihat laman Tentang Kami.
Bagikan
Berikan Komentar