SAMARINDA – Bekas-bekas tambang yang ditinggalkan tanpa sentuhan reklamasi terus menjadi luka terbuka di tubuh Kalimantan Timur. Dari udara, hamparan lubang besar terlihat seperti kawah tak bernyawa. Dari daratan, ia menjadi ancaman nyata bagi warga sekitar.
Sorotan tajam pun datang dari Sekretaris Komisi I DPRD Kalimantan Timur, Salehuddin. Ia menilai, kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang tak ubahnya warisan kelam dari praktik industri yang tak beretika.
“Lubang-lubang tambang ini bukan hanya bukti abainya perusahaan, tapi juga lemahnya kontrol dari negara,” ungkapnya pada 26 Juni 2025.
Langkah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim yang mulai menyelidiki praktik reklamasi fiktif dinilai Salehuddin sebagai angin segar. Ia mengingatkan, desakan pembenahan sebenarnya sudah lama disuarakan melalui Pansus DPRD, rekomendasi formal, hingga pelaporan ke tingkat nasional. Namun semua jalan seperti tertutup rapat.
“Kalau hari ini Kejati mau bergerak, itu langkah penting. Tapi jangan berhenti di permukaan. Audit harus menyentuh akar, termasuk dokumen reklamasi yang hanya rapi di atas meja, tapi kosong di lapangan,” katanya.
Ia menyebut bahwa banyak perusahaan tambang selama ini berlindung di balik prosedur administratif, sambil terus membiarkan lubang menganga di tengah hunian warga. Ancaman longsor, pencemaran air tanah, hingga hilangnya habitat sudah bukan lagi prediksi—melainkan kenyataan.
Salehuddin juga menyinggung soal lemahnya fungsi pengawasan di tingkat pemerintah daerah. Menurutnya, ketegasan gubernur dalam melarang hauling batu bara di jalan umum merupakan langkah awal yang baik, tapi masih jauh dari kata cukup.
“Masih ada kepala daerah yang enggan bersuara soal tambang. Padahal mereka yang paling dekat dengan masyarakat. Ketika anak tenggelam di lubang tambang, siapa yang bertanggung jawab?” ucapnya.
Dengan data terbaru menunjukkan lebih dari 800 lubang tambang belum direklamasi, Salehuddin menilai Kaltim tengah berada di ambang krisis lingkungan. Dari sekitar 1.400 izin tambang yang sempat diterbitkan, hanya sebagian kecil yang menunaikan kewajiban perbaikan lahan pascatambang.
“Ini bukan semata pelanggaran administratif. Ini ancaman hidup. Kalau dibiarkan, kita sedang menggali liang krisis untuk generasi mendatang,” tandasnya.
Ia menegaskan, keberanian aparat penegak hukum dalam membuka praktik manipulasi harus disambut dengan langkah lanjutan oleh seluruh pihak. Karena ketika tambang pergi meninggalkan luka, yang menanggung derita adalah masyarakat yang ditinggalkan.