Perusahaan media sosial kini berlomba-lomba menyediakan fitur Artificial Intelligence (AI) dalam produk mereka. Fitur AI berformat Large Language Model (LLM) yang bersifat website based terasa sudah kuno karena penetrasi AI sudah begitu dalam.
WhatsApp sebagai aplikasi messenger bahkan menyediakan cara memasukkan AI dalam percakapan pribadi kita. Sebelum ramai-ramai, pengguna X memanggil Grok untuk memverifikasi informasi atau pernyataan politisi. Bahkan, AI tersebut diberi prompt untuk mencemooh.
Jenis AI lain dapat membantu orang mencampurkan berbagai file suara, wajah, gambar, atau video menjadi sebuah produk visual atau multimedia baru. Prinsip mencampur baurkan visual atau teks demikian sebenarnya tidak begitu berubah dari proses pembuatan meme tradisional.
Fungsi diskursif dari produk multimedia pun tetap mengadopsi peran politik dari meme yang telah lebih dulu. Pencampuran hiburan dan kritik membuat publik bisa menertawakan keputusan politik yang merugikan mereka atau mengolok-olok politisi tertentu.
Pada titik ini, anekdot ‘semakin hancur suatu negara, semakin lucu pula meme-memenya’ dapat dipertimbangkan.
Begitu banyak beredar di Instagram atau Tiktok video film animasi yang disulihsuarakan dengan potongan pidato Prabowo, Jokowi atau pejabat public lain yang menuansakan kritisisme dan kekonyolan.
Alternatif gerakan sosial
Penggunaan AI untuk kepentingan aktivisme ini dapat dilihat wujud kelanjutan evolusi gerakan sosial di Indonesia. Pengalaman sejarah aktivisme Indonesia yang memiliki riwayat menghasilkan reformasi dapat dipandang sebagai modal kultural dalam mengembangkan alternatif gerakan sosial. Tidak semua masyarakat dapat melakukan itu.
Billur Aslan Ozgul memaparkan dalam bukunya, Leading Protests in the Digital Age: Youth Activism in Egypt and Syria (2020), bagaimana adaptasi teknologi menghasilkan perbedaan yang signifikan antara Mesir dan Suriah. Masyarakat Mesir yang sudah memiliki pengalaman aktivisme jauh lebih mampu memanfaatkan teknologi internet untuk kepentingan politik mereka.
Sementara itu, Suriah yang lebih lama hidup dalam situasi yang tertutup dan ketat, tidak mampu memaksimalkan potensi teknologi dalam aktivismenya. Penggunaan informasi di Suriah menghadapi kendala besar akibat rendahnya pengalaman dalam protes serta represi ekstrem dari pemerintah.
Berbeda dari Mesir yang memiliki masyarakat sipil lebih berkembang dan partai politik independen, masyarakat Suriah belum terbiasa dengan bentuk-bentuk perlawanan terbuka, baik secara online maupun offline.
LLM sebagai Teknologi yang dirancang untuk memahami, menghasilkan, dan memanipulasi teks yang ditulis oleh manusia dimanfaatkan untuk menggali perspektif alternatif dari wacana otoritas yang mendominasi saluran publik.
LLM ini dapat memanggilkan jejak informasi yang terkumpul dalam memori internet itu sendiri. Praktik konfirmasi atau verifikasi menjadi lebih murah, cepat, dan mudah, meski tetap mengandung resiko kekeliruan.
Namun, LLM ini menjadi Teknologi baru bagi aktivisme digital untuk mencari apa yang disebut Fiona Suwarna (2020) sebagai information for actions atau bahkan dapat mengubahnya menjadi information is actions.
Sumber tandingan
Sebenarnya, kemunculan internet yang pada akhirnya menyediakan media sosial sudah menjadi alarm penting bagi pola komunikasi otoritas yang mengusung kemutlakan satu arah.
Pola ‘kalau pemerintah sudah bilang hoax, ya hoax. Kenapa membantah?’ yang pernah disampaikan Johny G Plate saat masih menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika dulu sudah tidak relevan. Sumber informasi tandingan dapat disodorkan untuk menantang validitas dari argumen yang disampaikan.
Lokalitas dan kosmopolitanisme berlaku ulang alik membentuk aliran diskursus politik sekarang. Klaim Presiden Prabowo mengenai angka kemiskinan di Indonesia turun berdasar data Badan Pusat Statistik justru ditanggapi dengan mempertanyakan standar pengukuran kemiskinan itu sendiri. Pengukuran Bank Dunia terhadap hal yang sama disandingkan sebagai perspektif alternatif.
Sebagaimana meme menjadi cermin kondisi sosial-politik, aktivisme berbasis AI pun akan terus berevolusi, membuktikan bahwa di tengah kompleksitas zaman, kreativitas warga dalam menyuarakan kritik dan mengonfirmasi kebenaran menemukan jalannya sendiri.
Kecerdasan buatan menjadi sekutu barunya. Masa depan diskursus publik sedang diretas dan ditulis ulang, bukan hanya di jalanan atau mimbar, tetapi juga di dalam algoritma dan percakapan virtual kita. [*]