JAKARTA – Bencana banjir bandang dan tanah longsor melanda puluhan kabupaten/kota di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak 26 November 2025. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 30 November 2025 mencatat 442 orang meninggal dunia dan 402 orang lainnya masih dinyatakan hilang.
Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menilai bencana ini menjadi alarm keras atas kerusakan ekologis masif di Sumatera. “Daya dukung lingkungan Sumatera sudah kritis karena hutannya ditimpa dan dirobek-robek oleh ribuan izin industri ekstraktif,” kata dia lewat siaran pers yang diterima. Ia menambahkan, anomali iklim berupa Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka membuktikan krisis iklim nyata terjadi.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, menyoroti bahwa dampak bencana sebenarnya bisa diminimalisir jika pemerintah dan perusahaan mengkaji izin serta proyek secara transparan. “Banyaknya korban jiwa harus jadi pengingat untuk memulihkan bentang alam rusak dan meninjau ulang izin perusahaan perusak lingkungan,” ujarnya.
Kerusakan Ekologis di Tapanuli
Sumatera Utara menjadi wilayah terparah terdampak, khususnya Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Sibolga. Kawasan ini memiliki ekosistem Batang Toru (Harangan Tapanuli) dengan kekayaan biodiversitas tinggi yang kini terkepung megaproyek ekstraktif seperti tambang emas Martabe (PT Agincourt Resources), PLTA Batang Toru, PT Toba Pulp Lestari, serta perkebunan kelapa sawit PT Sago Nauli dan PTPN III Batang Toru.
Data Satya Bumi menunjukkan konsesi PT Agincourt Resources seluas 130.252 hektare, di mana 40.890,60 hektare tumpang-tindih dengan ekosistem Batangtoru—habitat Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang terancam punah dengan populasi kurang dari 800 individu. “Yang paling mengkhawatirkan adalah rencana pembangunan tailing management facility (TMF) di hulu Sungai DAS Nabirong yang berpotensi mencemari DAS Batangtoru,” jelas Andi.
Pemicu Bencana: Industri Ekstraktif dan Alih Fungsi Hutan
Bencana dipicu Siklon Tropis Senyar yang menyebabkan hujan lebat. Namun, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat deforestasi membuat lahan tak mampu menyerap air. Data Kementerian ESDM yang diolah Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan 1.907 izin tambang aktif di Sumatera dengan total luas 2,45 juta hektare. Aktivitas PT Agincourt saja menyebabkan deforestasi 739 hektare dalam setahun terakhir.
Sementara itu, perkebunan kelapa sawit seluas 10 juta hektare di Sumatera turut merusak struktur tanah dan keseimbangan hidrologis. Mekanisme Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) yang meloloskan alih fungsi hutan lindung menjadi ruang ekstraksi semakin memperparah kondisi. Hingga November 2025, tercatat 271 PPKH seluas 53.769,48 hektare di Sumatera.
Seruan Aksi Darurat
Satya Bumi mendorong audit aktivitas ekstraktif di Batangtoru dan penindakan tegas terhadap perusahaan perusak lingkungan. “Rehabilitasi hulu sungai secara komprehensif, termasuk reforestasi dan stabilisasi lereng, harus melibatkan Masyarakat Adat yang memiliki pengetahuan ekologis tradisional,” tekannya.
Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah menghentikan deforestasi total dan transisi energi fosil secara cepat. “Bencana ini bukti nyata bahwa alam memiliki batas. Setiap kerusakan terus memperparah kerentanan sosial-ekologis di tengah krisis iklim,” pungkas Leonard.
Baca juga :
