JAKARTA – Proses sengketa informasi antara Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belum menemui titik terang. Polri tidak membuka kontrak pengadaan gas air mata seperti yang ICW minta.
Sebelumnya, ICW meminta 25 dokumen pengadaan atas 10 paket pengadaan gas air mata yang dilakukan oleh Polri pada Tahun Anggaran 2022 dan 2023. ICW mengajukannya dengan mengacu Pasal 15 ayat (9) huruf a dan b Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik.
“Polri kerap berdalih bahwa informasi yang ICW mintakan, jika dibuka, dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 17 huruf c UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” ujar Peneliti ICW Erma Nuzulia dalam keterangan tertulis, Jumat (24/1/2025).
Erma mengatakan, jika dicermati lebih lanjut, daftar dokumen tersebut hanya sebatas dokumen administratif proses pengadaan barang yang dilakukan Polri. Dokumen tersebut, kata dia, bukan berisi informasi mengenai strategi, intelijen, operasi, dan teknik.
Dengan demikian, ICW menilai alasan Polri tidak sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara. Erma merujuk Pasal 2 ayat (4) UU KIP yang menyatakan suatu informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup harus dilandaskan pada kepentingan publik.
“Pertanyaan reflektifnya, kepentingan publik seperti apa yang dijadikan dasar bagi Polri untuk menutup informasi mengenai pembelian gas air mata?” kata Erma.
Krusial
ICW menilai proses permohonan hingga sengketa informasi ini sangat krusial. Hal ini, lanjut Erma, harus dipandang sebagai bentuk partisipasi publik untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas di instansi kepolisian.
Ia menyebut, dalam praktiknya selama ini, penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian sering tidak sesuai dengan prosedur pengamanan aksi massa. Hal itu mengakibatkan sejumlah insiden, salah satunya kasus di Kanjuruhan, Malang, pada Oktober 2022. ICW mencatat kejadian itu menewaskan 135 orang dan 1.363 orang lainnya luka-luka.
“Berdasarkan catatan ICW dan Trend Asia, sepanjang tahun 2015-2022 terdapat setidaknya 144 kejadian penembakan gas air mata yang dilakukan oleh kepolisian ketika melakukan pengamanan terhadap aksi massa,” kata dia.
Kondisi tersebut yang menurut Erma seharusnya dijadikan dasar oleh Polri sebagai wujud dari kepentingan publik yang harus dipertimbangan. Itu bertujuan agar Polri lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan negara yang dikelola.
Peneliti ICW lain, Wana Alamsyah, menuntut Majelis Komisioner pada Komisi Informasi Pusat menerima permohonan mengenai dokumen pengadaan gas air mata Polri. Mereka pun meminta Majelis Komisioner untuk memerintahkan Polri segera membuka dokumen tersebut.
“Kapolri mencabut hasil uji konsekuensi atas informasi publik yang mencantumkan bahwa dokumen pengadaan untuk seluruh alat pengamanan aksi massa merupakan informasi yang dikecualikan,” ujar Wana.
***
Baca juga: